Kritik internal dalam tubuh NU semakin sulit muncul. Ruang diskusi yang dulu cair kini tampak dipersempit oleh kultur baru: siapa yang berbeda pandangan dianggap tidak tawadhu, siapa yang kritis dianggap tidak ngalap berkah, siapa yang bersuara dianggap melawan keputusan ulama.
Padahal NU besar justru karena tradisi kritik itu sendiri. Tafsir terhadap khazanah klasik, ijtihad kiai pesantren, dan dialektika antara tradisi lokal dengan konteks baru menjadi ciri NU sejak awal. Jika dinamika itu mandek, wajar bila sebagian warga memandang gaya kepemimpinan saat ini sebagai “benalu” yang menyerap energi kritis, meredam diskusi, dan mengarahkan organisasi besar ini pada budaya ta’dzim yang tidak sehat.
Dampak dari gaya kepemimpinan seperti ini mulai nyata terasa di tubuh Nahdlatul Ulama. Fragmentasi antar-wilayah dan cabang semakin menguat, menciptakan jarak yang sebelumnya tidak pernah sedalam ini. Sejumlah kiai karismatik, yang selama ini menjadi penopang moral dan rujukan spiritual warga NU, perlahan mengambil jarak sebagai bentuk kegelisahan atas arah gerak organisasi. Para kader muda yang biasanya lantang bersuara kini lebih memilih diam, menahan kritik karena ruang diskusi semakin sempit. Di tingkat akar rumput, warga NU mulai kebingungan menyaksikan organisasinya semakin tampak elitis dan jauh dari denyut kebutuhan mereka. Kondisi ini jelas berbahaya. NU tidak boleh dibiarkan terjebak dalam konflik internal yang menggerus kepercayaannya sendiri. Sebagai rumah besar umat, NU harus kembali ke khittah—menjadi penjaga moral bangsa, bukan alat politik, bukan corong kelompok tertentu, dan bukan arena perebutan kepentingan sempit.
Sebagai jalan keluar dari berbagai kegelisahan yang muncul, sejumlah solusi perlu dihadirkan agar NU dapat kembali pada rel pengabdiannya. Langkah pertama yang paling mendesak adalah menghadirkan Musyawarah Besar Khusus atau Mukhtamar Istimewa sebagai ruang evaluasi menyeluruh terhadap arah kebijakan, kinerja, dan strategi PBNU. Forum ini penting untuk memastikan bahwa suara cabang, wilayah, pesantren, dan jamaah akar rumput benar-benar didengar dan menjadi pijakan dalam menentukan masa depan organisasi. Di saat yang sama, PBNU perlu mendorong transparansi dan akuntabilitas secara lebih serius, terutama terkait kebijakan-kebijakan strategis yang menyangkut kerja sama dengan pemerintah maupun pihak internasional.
Keterbukaan diperlukan agar tidak ada kecurigaan atau interpretasi liar yang berpotensi mempertajam konflik. Selanjutnya, NU harus kembali pada Khittah 1926 sebagai fondasi moral, dengan menegaskan kembali batasan hubungan NU dengan praktik politik agar tidak terseret pada kepentingan jangka pendek yang merusak marwah organisasi. Revitalisasi peran ulama pesantren pun menjadi hal yang sangat penting, karena suara kiai kampung dan pesantren kecil selama ini merupakan denyut utama NU yang sesungguhnya. Dan sebagai opsi terakhir, apabila evaluasi organisasi menunjukkan bahwa arah kepemimpinan sekarang lebih banyak menimbulkan mudarat daripada maslahat, maka langkah yang paling ksatria dan bermartabat adalah meminta Gus Yahya mundur sebagai Ketua Umum PBNU. Bukan demi kepentingan kelompok mana pun, tetapi sebagai tanggung jawab moral untuk menjaga NU tetap menjadi rumah besar yang bersih dari benalu kebijakan yang menggerogoti kepercayaan warganya.
*Kirwan, penulis adalah Warga NU Jawa Timur
