Sejak Undang-Undang Desa disahkan pada 2014, Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) digadang-gadang sebagai mesin baru ekonomi desa. Ribuan BUMDesa dibentuk dengan harapan besar: potensi lokal terkelola, kesejahteraan meningkat, dan desa tidak lagi sepenuhnya bergantung pada transfer dana dari pusat. Namun, setelah lebih dari satu dekade berjalan, muncul pertanyaan mendasar: mengapa banyak BUMDesa justru stagnan, bahkan mati suri?
Di banyak wilayah, termasuk Sulawesi Selatan, BUMDesa tampak hidup secara administratif, tetapi rapuh sebagai institusi ekonomi. Ia berdiri secara hukum, memiliki struktur organisasi, dan mencatat unit usaha, namun gagal tumbuh sebagai badan usaha yang profesional dan dipercaya warga. Di sinilah persoalan tata kelola menemukan momentumnya.
Penelitian empiris terhadap 21 desa di Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone, memperlihatkan potret yang patut menjadi cermin bersama. Hampir seluruh BUMDesa telah memenuhi syarat formal pembentukan. Akan tetapi, fondasi tata kelolanya masih lemah. Transparansi belum konsisten, akuntabilitas berjalan setengah hati, dan laporan keuangan lebih sering disusun sebagai kewajiban administratif ketimbang alat pengambilan keputusan usaha. Partisipasi warga pun kerap berhenti sebagai jargon musyawarah, bukan praktik nyata dalam pengelolaan bisnis desa.
Kondisi ini sejatinya bukan temuan baru dalam literatur tata kelola. World Development Report 2017 yang diterbitkan Bank Dunia menegaskan bahwa kelemahan governance merupakan akar kegagalan banyak institusi publik. UNDP, melalui Governance for Sustainable Human Development (1997), menyatakan bahwa sebuah organisasi hanya dapat bekerja efektif jika prinsip keterbukaan, partisipasi, akuntabilitas, efektivitas, dan penegakan hukum dijalankan secara sungguh-sungguh. Dalam bahasa sederhana, jika tata kelola rapuh, lembaganya pun ikut rapuh, seberapa besar pun potensi yang dimiliki.
BUMDesa menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibanding lembaga publik biasa. Ia lahir dari rahim pemerintahan desa, tetapi dituntut beroperasi seperti entitas bisnis. Dengan kata lain, BUMDesa membawa dua jiwa sekaligus: publik dan korporasi. Kartika Hendra Titisari (2021) menjelaskan bahwa prinsip good corporate governance dirancang untuk menyeimbangkan kepentingan pemilik, pengelola, dan pemangku kepentingan lain agar perusahaan berjalan dengan integritas. Ketika prinsip ini diabaikan, konflik kepentingan, nepotisme, dan salah urus aset tinggal menunggu waktu.
Temuan lapangan di Dua Boccoe menunjukkan setidaknya lima masalah utama. Pertama, transparansi masih bersifat formalistik; laporan dan rencana usaha tidak benar-benar dibuka ke publik. Kedua, akuntabilitas lemah karena tidak adanya mekanisme audit internal yang memadai. Ketiga, profesionalitas pengurus rendah; banyak posisi diisi karena kedekatan sosial, bukan kompetensi. Keempat, pengawasan kabur; pemerintah desa kadang terlalu dominan, tetapi di waktu lain justru sangat pasif. Kelima, pendampingan dari Tenaga Pendamping Profesional belum menyentuh inti persoalan tata kelola dan manajemen usaha.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah minimnya bantuan substantif dari negara. Padahal Pasal 90 huruf b Undang-Undang Desa secara tegas memerintahkan pemerintah di semua level untuk membantu BUMDesa melalui pendampingan teknis dan pembukaan akses pasar. Dalam praktiknya, amanat ini sering berhenti pada pelatihan seremonial, sementara dukungan teknis dan jejaring pasar yang dibutuhkan usaha justru minim.
