Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Agus Sardjono, mengingatkan bahwa kepala desa, pengurus BUMDesa, dan aktor lokal lain seharusnya dibekali pemahaman yang memadai tentang prinsip good governance dan good corporate governance. Ketidakpahaman inilah yang membuat BUMDesa hanya berdiri secara formal. Ia juga mengkritik kecenderungan pemerintah mengeluarkan program secara tergesa tanpa mempertimbangkan kualitas sumber daya manusia di desa, sehingga kebijakan yang baik di pusat justru melemah di tingkat lokal.
Pandangan ini sejalan dengan penilaian Koordinator Kecamatan Dua Boccoe TPP P3MD. Menurutnya, konsep BUMDesa sebenarnya sudah tepat, tetapi kelemahan terbesar terletak pada sumber daya manusia. BUMDesa telah disetarakan dengan korporasi, tetapi cara pengelolaannya masih jauh dari standar korporasi. Pendampingan berkelanjutan menjadi kunci, dan pendamping yang turun ke desa pun harus memahami bisnis dan kewirausahaan. Sulit mengajarkan sesuatu yang tidak dikuasai.
Jika kita jujur, banyak BUMDesa bukan terhambat karena kekurangan modal, melainkan kekurangan kapasitas. Laporan keuangan tidak tertib, analisis usaha jarang dilakukan, dan keputusan bisnis lebih sering diambil berdasarkan intuisi daripada data. Tidak mengherankan jika kemudian muncul penyalahgunaan anggaran dan BUMDesa yang mati suri. Di titik ini, tata kelola menjadi garis pembeda antara lembaga yang sekadar ada dengan lembaga yang benar-benar memberi manfaat.
Karena itu, BUMDesa perlu dibedah ulang, bukan untuk dimatikan, tetapi untuk diselamatkan. Transparansi harus menjadi standar minimal, dengan laporan keuangan dan rencana usaha yang mudah diakses warga. Profesionalisasi pengurus harus menjadi agenda serius, dengan rekrutmen berbasis kompetensi dan pendampingan yang membumi. Mekanisme pengawasan dan pendampingan juga perlu diperkuat, dari tingkat desa hingga kabupaten, agar tidak berhenti pada pemeriksaan berkas semata, tetapi menyentuh inti manajemen usaha.
BUMDesa memiliki potensi besar untuk mengubah wajah ekonomi desa, termasuk di Sulawesi Selatan. Namun potensi tidak otomatis menjadi kesejahteraan. Yang menentukan adalah keberanian kita memperbaiki tata kelolanya hari ini. Jika BUMDesa terus dibiarkan berjalan tanpa kompas, desa akan kembali kehilangan kesempatan emas yang sesungguhnya sudah berada di depan mata.
* Andi Muh. Adhim, penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia
