Di daerah yang disebut kota dzikir dan sholawat, krisis dari segala tindakan pun terjadi, karena terjebak dalam kenyamanan fatwa “NGIRENG DEBU”. Krisis dari segi sosial, moral, kepemimpinan dan ekonomi terjadi, kita dipaksa menelan kenyataan pahit, daerah yang dipimpin oleh seseorang yang tidak hanya minim kapasitas, tapi juga terlalu lugu untuk dijadikan kelinci percobaan.
Parah dan lebih menyakitkannya, ia dikelilingi oleh para oportunis pragmatis tanpa ideologi, tanpa kompas moral yang memanfaatkan kelemahannya sebagai celah untuk menancapkan kuku kekuasaan mereka, kalau orang kerajaan menyebut sengkuni, tapi ini sengkuni tak bermoral.
Machiavelli Dalam Il Principe menyebut bahwa seorang pemimpin harus memiliki Virtu yaitu keberanian, ketegasan, kecerdikan, dan kemampuan membaca arus sejarah. Namun pemimpin Bangkalan hari ini justru menjadi anti-tesis dari semua itu. Ia bukan singa yang ditakuti, bukan pula rubah yang cerdik. Ia hanya seekor kelinci percobaan yang dipelihara oleh singa yang ompong. Kekuasaan yang seharusnya dijalankan dengan prinsip dan kecakapan, berubah menjadi panggung sandiwara.
Di belakang layar, para elite pragmatis memainkan peran ganda, di depan rakyat mereka berwajah populis, di belakang mereka mengatur deal-deal gelap yang menancapkan dominasi mereka atas negara. Machiavelli mungkin tidak pernah membayangkan bahwa akan ada penguasa seabsurd ini yang dikelilingi oleh singa ompong, tapi malah tersenyum seolah dirinya pemilik hutan.
Dalam kajian terdahulu Karl Marx pernah menulis bahwa sejarah akan terulang dua kali pertama sebagai tragedi, kedua sebagai komedi. Tapi pada kekuasaan yang ada di Bangkalan kali ini, tragedi dan komedi datang bersamaan, pemimpin yang tak mampu, dan elite yang tak bermoral.
Tak mengherankan jika pemimpin hanyalah alat dari kelas penguasa baru, mereka yang memiliki akses terhadap sumber daya, koneksi, dan kekuasaan politik. Ia adalah boneka ideologis yang digunakan untuk meredam kesadaran rakyat, mengalihkan perhatian dari krisis struktural, dan menormalisasi ketimpangan sebagai konsekuensi pembangunan.
Salah satu contoh dalam kegiatan pengerjaan jalan yang sedang di kerjakan di daerah kombangan sampai sepuluh, semua yang mengatur baik penatan dan pengerjaannya adalah saudara dari Bupati Bangkalan yakni Mahfud (Mantan DPRD Wilayah Jawa timur yang sekarang terlibat dalam dugaan Korupsi dana Hibah), tentu menjadi aneh jika proyek sebesar itu tidak dibawahi langsung oleh Bupati. Akan tetapi untuk mendapat perhatian dari publik, bupati langsung mengontrol kelapangan sendiri, sehingga dimata masyarakat bupati sekarang merakyat.