JAKARTA – Pengiat Lingkar Studi Kebangkitan Bangsa (LSKB), Fahmi Budiawan melontarkan kritik tajam terhadap pendekatan yang digunakan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam menarik royalti musik dari pelaku usaha seperti kafe, restoran, dan tempat hiburan. Menurut Fahmi, di tengah tantangan ekonomi saat ini, LMKN semestinya lebih adaptif dan tidak hanya bersandar pada penegakan hukum yang kaku.
Kritik tersebut merujuk pada implementasi UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang memang memberikan mandat kepada LMKN untuk mengelola dan menyalurkan royalti kepada pencipta lagu, musisi, penulis, dan seniman lainnya. Namun, LSKB menilai metode yang digunakan LMKN saat ini masih kurang inovatif dan terkesan menakut-nakuti pelaku usaha.
“Semestinya di era yang serba susah seperti sekarang, LMKN bisa menunjukkan dukungan kepada para pebisnis kecil menengah lewat skema kerjasama pemanfaatan musik secara lebih fair dan manusiawi, bukan malah menakut-nakuti pengguna musik dengan aturan hukum rigid serta ancaman hukuman,” ungkap Fahmi Budiawan kepada harianindo.id Selasa (5/8/2025).
LSKB menyarankan agar LMKN memanfaatkan kemajuan teknologi dengan menghadirkan aplikasi digital berbayar yang memungkinkan pelaku usaha menggunakan musik secara legal dan terpantau. Selain memperjelas pembagian royalti, langkah ini juga dinilai mampu membangun ekosistem yang saling menguntungkan antara pencipta karya dan pengguna.
“Sekarang zaman sudah digital, LMKN sudah diundangkan, sedikit inovatif dengan aplikasi berbayar untuk pengusaha cafe dan resto dan hiburan kan bisa jadi alternatif. Selain transparan, hitungan royalti ke pemilik karya juga jelas,” tambahnya.
LSKB juga mengingatkan bahwa peran LMKN seharusnya tidak berhenti sebagai pemungut royalti semata, melainkan turut menggerakkan ekonomi melalui optimalisasi karya musik lokal.
“LMKN jangan hanya jadi robot pemungut royalti musik, tapi harusnya bisa membawa musik, khususnya karya anak bangsa, menjadi pendukung utama kebangkitan ekonomi Indonesia yang sedang tersendat ini. Itu baru cerdas dan bermanfaat,” tegasnya.
Dengan masukan ini, LSKB berharap agar LMKN mulai membangun sistem manajemen royalti yang lebih akuntabel, kreatif, dan kolaboratif, sejalan dengan semangat ekonomi digital yang semakin mendominasi.
Untuk diketahui, sebelumnya, Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menanggapi fenomena kafe atau restoran yang memutar suara alam atau kicauan burung sebagai upaya untuk menghindari pembayaran royalti musik. Dharma menegaskan, menyetel suara-suara tersebut tetap bisa dikenai royalti.