Dua Pejabat PLN Diduga Terlibat Pelecehan Seksual dan Kekerasan Bersajam, Aktivis Desak Pimpinan PLN dan Direksi LHC Dicopot

Tangkapan layar kekerasan bersajam oleh oknum terduga pelaku. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Reputasi PT PLN (Persero) sebagai perusahaan berpredikat Great Place to Work kini tercoreng. Dua pejabat tinggi PLN diduga terlibat dalam dua kasus serius: pelecehan seksual di lingkungan kerja dan tindak kekerasan menggunakan senjata tajam di ruang publik. Kasus ini menimbulkan gelombang kritik tajam terhadap manajemen PLN, terutama terhadap Direktorat Legal & Human Capital (LHC) yang dinilai gagal menegakkan etika dan perlindungan pegawai.

Ironisnya, predikat “perusahaan terbaik untuk bekerja” yang diperoleh PLN dari Great Place to Work (GPTW) Indonesia pada Oktober lalu, kini berbanding terbalik dengan kenyataan yang terungkap dari dalam. Menurut keterangan sejumlah pegawai PLN pusat, laporan pelecehan seksual yang disampaikan melalui kanal resmi Employee Assistance Center (EAC) kerap diabaikan. Penyebabnya, menurut sumber internal, lantaran pejabat yang menangani kasus tersebut — EVP Human Capital berinisial GA — justru diduga sebagai pelaku predator seksual.

“Hal yang mendasari EVP melakukan tersebut karena beliau adalah pelaku predator seksual yang sudah banyak korbannya,” ungkap salah satu pegawai PLN kepada media, Jumat (7/11/2025).

Beredar kabar bahwa GA bahkan telah mengakui perbuatannya kepada Direktur Legal & Human Capital (LHC) PLN, Yusuf Didi Setiarto, namun tidak dijatuhi sanksi. Posisi strategisnya pun tetap aman.
Sumber lain menyebut, GA kerap memutuskan laporan pelecehan dengan dalih “suka sama suka” tanpa mendengarkan keterangan korban.

Sementara itu, kasus lain mencuat ketika seorang pejabat EVP Bantuan Hukum PLN berinisial CEN terekam dalam video viral tengah mengayunkan parang panjang di Jalan Raya Cinere, Depok, pada 26 Oktober 2025.
Peristiwa itu memicu kemarahan publik, karena CEN disebut menggunakan kendaraan dinas PLN dan bertindak brutal di ruang publik. Alih-alih diberi sanksi, CEN justru mendapat bantuan hukum dari korporasi dan berhasil lolos lewat mekanisme Restorative Justice (RJ) setelah berdamai dengan korban.

Bacaan Lainnya

Padahal, menurut sejumlah pihak, tindakan tersebut jelas melanggar kode etik BUMN dan prinsip integritas korporasi. Menanggapi dua kasus yang menyeret pejabat PLN tersebut, Koordinator Nasional Relawan Listrik untuk Negeri (Re-LUN) sekaligus Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO), Teuku Yudhistira, menegaskan bahwa PLN harus bertindak tegas dan transparan.

“PLN seharusnya tegas menegakkan Kepmenaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja. Tapi faktanya, PLN belum sepenuhnya mengimplementasikannya,” ujar Yudhistira di Jakarta, Jumat (7/11).

Yudhistira juga menilai, langkah PLN menyiapkan pengacara korporasi untuk membela pelaku kekerasan bersenjata sangat tidak etis dan bertentangan dengan nilai-nilai korporasi. Ia mendesak Propam Polda Metro Jaya turun tangan mengkaji kembali penanganan kasus CEN oleh Satreskrim Polres Metro Depok, yang dianggap terlalu mudah memutuskan Restorative Justice.

“Seharusnya penyidik menerapkan pasal berlapis, mulai dari Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan hingga Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang penggunaan senjata tajam. Bukan malah RJ,” tegas Yudhistira.

Aktivis itu menilai tindakan CEN tidak hanya mencoreng nama PLN, tetapi juga menimbulkan keresahan publik.

“Kalau benar dia pejabat EVP PLN, ini pelanggaran berat. Kok bisa pejabat PLN bawa-bawa senjata tajam di jalan? Kami mendesak PLN memecat kedua pejabat tersebut — baik yang terlibat pelecehan maupun kekerasan bersajam,” ujarnya.

Lebih jauh, Yudhistira menuntut evaluasi besar-besaran terhadap pucuk pimpinan PLN.

“Danantara dan Presiden harus turun tangan. Direktur LHC, Yusuf Didi Setiarto, harus dicopot, dan Dirut PLN Darmawan Prasodjo wajib bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya. Ini bentuk kegagalan kepemimpinan,” tambahnya.

Sebelumnya, pengamat hukum Dicki Nelson, S.H. juga menilai bahwa tindakan CEN memenuhi unsur pidana berat.

“Penggunaan senjata tajam di ruang publik jelas melanggar Pasal 351 dan 170 KUHP, serta Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Ancaman hukumannya bisa sampai 10 tahun penjara,” ujarnya.

Dicki menegaskan, penggunaan Restorative Justice dalam kasus ini tidak tepat karena tindakan pelaku menimbulkan keresahan publik.

“Setiap tindakan yang mengancam ketertiban umum wajib ditindak demi keadilan hukum. Kasus ini seharusnya tidak bisa diselesaikan secara damai,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *