Kasus galian C ilegal di Bangkalan kembali membuka borok lama yang selama ini hanya dirapikan di permukaan, tetapi tak pernah benar-benar diselesaikan. Dalam kerangka hukum nasional, izin tambang mineral bukan logam—termasuk galian C—merupakan kewenangan penuh pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Artinya, setiap aktivitas tambang tanpa izin pusat bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana yang konsekuensinya jelas: harus dihentikan dan ditindak.
Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Tambang ilegal bukan hanya tumbuh subur, tetapi seolah mendapat karpet merah untuk terus beroperasi. Lebih parah lagi, muncul dugaan keterlibatan oknum aparat dari tingkat daerah hingga pusat yang menerima setoran keamanan demi memastikan aktivitas ilegal tersebut tetap berjalan. Jika dugaan ini benar, maka yang runtuh bukan hanya integritas penegakan hukum, tetapi juga martabat institusi yang tugas utamanya adalah melindungi rakyat, bukan menggadaikan keselamatannya.
Regulasi Tegas, Pembiaran Lebih Tegas
Secara teknis, aturan pertambangan juga jelas: hasil galian C ilegal tidak boleh diangkut melalui jalan daerah, karena itu melanggar prosedur operasional dan membahayakan keselamatan publik. Namun pembiaran yang telah berlangsung bertahun-tahun di Bangkalan menunjukkan bahwa regulasi hanya dijadikan pajangan—dihafal, tetapi tidak dijalankan.
Akibat dari pembiaran ini sangat tragis: enam santri meninggal dunia akibat aktivitas galian C ilegal yang tidak pernah sungguh-sungguh dikendalikan. Mereka bukan korban takdir, melainkan korban dari sistem hukum yang pasif, lembek, dan terperangkap dalam kubangan kepentingan.
Kematian Enam Santri Bukan Musibah, Tetapi Kejahatan Struktural
Kematian para santri itu tidak bisa dipahami sebagai musibah alam atau kecelakaan biasa, melainkan sebagai konsekuensi dari kelalaian struktural yang berlangsung lama dan dibiarkan tanpa koreksi. Di balik tragedi tersebut terdapat rangkaian aktor yang saling terkait: pemerintah daerah yang memilih diam meski mengetahui risiko dan dampak aktivitas galian ilegal; aparat penegak hukum yang diduga menutup mata bahkan ikut menikmati aliran kepentingan; para pelaku tambang yang terus mengeruk keuntungan tanpa peduli keselamatan warga; serta jaringan pembeking yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan operasi ilegal tersebut. Kombinasi dari pembiaran, kelalaian, dan kepentingan inilah yang menjadikan nyawa para santri seolah tidak lebih berharga daripada keuntungan sesaat yang mereka perebutkan. Tragedi itu adalah cermin dari kegagalan sistemik, bukan sekadar kecelakaan.
Bangkalan dan Hukum yang Hanya Bergerak Jika Ada Korban
Narasi memilukan ini kembali menegaskan satu hal: di Bangkalan, hukum tidak berjalan; hukum baru bergerak ketika ada tekanan publik atau ketika nyawa melayang. Situasi ini membuat kita harus bertanya: untuk siapa sebenarnya hukum ditegakkan? Untuk rakyat, atau untuk kepentingan segelintir mereka yang diuntungkan dari pembiaran tambang ilegal?
Jika negara sungguh ingin menunjukkan bahwa ia hadir, maka inilah saatnya membuktikan bahwa hukum tidak bisa dibeli, bahwa keselamatan warga jauh lebih berharga daripada setoran bulanan tambang ilegal. Kematian enam santri harus menjadi alarm keras, bukan sekadar headline sesaat.
Negara tidak boleh lagi membiarkan hukum berfungsi seperti pintu putar: mudah dibuka bagi pemodal, tetapi tertutup bagi rakyat yang mencari keadilan.
Sudah waktunya penegakan hukum di Bangkalan tidak sekadar reaktif, tetapi benar-benar menjangkau akar masalah—hingga ke mereka yang selama ini bersembunyi di balik seragam, jabatan, dan kekuasaan.
*Rahman, penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
