YOGYAKARTA – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Hilmy Muhammad, mengecam keras tayangan salah satu program di Trans7 yang dianggap melecehkan pesantren dan memelintir peran kiai.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut, media mestinya mempertimbangkan soal etika dan memberikan porsi yang seimbang ketika membuat narasi pemberitaan. Tidak justru membuat kesenjangan informasi.
“Jurnalis dan tim produksi yang membuat tayangan di Trans7 itu telah abai terhadap etika, merusak citra pesantren, dan melukai rasa hormat jutaan santri kepada gurunya. Ini melukai martabat pesantren,” tegas Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut melalui keterangan tertulis pada Selasa (14/10/2025).
Gus Hilmy menjelaskan, tuduhan bahwa pesantren adalah ruang feodal dan penuh penindasan mencerminkan ketidaktahuan terhadap sistem pendidikan pesantren. Kedisiplinan, penghormatan kepada kiai, dan tradisi khidmah di pesantren justru menjadi latihan moral dan sosial yang sangat berharga.
“Roan (kerja bakti), ngecor, nyapu, atau membantu kegiatan pondok itu bukan perbudakan. Itu bentuk latihan khidmah, pendidikan pelayanan, dan pengabdian kepada masyarakat. Santri belajar memberi tanpa pamrih, belajar amal jariyah, dan berlatih menjadi manusia yang berguna bagi banyak orang,” ujar salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Gus Hilmy menegaskan, media juga perlu memahami realitas sosial pesantren secara lebih luas. Ribuan santri di Indonesia hidup dari beasiswa dan bantuan pesantren. Banyak di antara mereka datang tanpa membawa apa pun, lalu ditanggung penuh kebutuhan makannya, tempat tinggal, hingga pendidikannya oleh pesantren.
“Banyak santri yang datang ke pesantren hanya membawa pakaian di badan. Mereka belajar, makan, dan hidup di sana tanpa dipungut biaya. Pesantren menanggung semuanya. Kalau mau jujur, justru pesantrenlah yang menanggung beban sosial negara,” kata Gus Hilmy.
Selain itu, kata Gus Hilmy, pesantren juga menjadi pusat ekonomi masyarakat. Ratusan pedagang kecil, tukang jahit, petani, hingga pengrajin di sekitar pesantren menggantungkan penghidupan dari aktivitas santri dan kiai.