“Pesantren menghidupi lingkungannya. Warung, toko, petani, bahkan tukang becak di sekitar pondok, semua mendapat manfaat dari keberadaan pesantren. Jadi ketika pesantren dilecehkan, bukan hanya santri yang tersakiti, tapi juga masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sana,” lanjutnya.
Gus Hilmy menilai bahwa jurnalis yang membuat tayangan tersebut gagal melihat makna pendidikan pesantren yang hakiki. Menurutnya, pesantren melatih santri untuk berdisiplin, menundukkan ego, dan menjadikan pengabdian sebagai jalan hidup. Nilai-nilai itu yang seharusnya dihormati, bukan dijadikan bahan sensasi.
“Media semestinya menjadi jembatan pemahaman antara dunia pesantren dan masyarakat luas, bukan malah menyulut prasangka. Karena itu, jurnalis maupun tim produksi yang membuat tayangan itu harus bertanggung jawab,” kata anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Gus Hilmy menegaskan, dunia pesantren tidak menolak kritik, tetapi menolak fitnah dan kesalahpahaman yang lahir dari ketidaktahuan. Ia mengingatkan bahwa pesantren selama ini menjadi penjaga akhlak bangsa dan sumber moralitas publik.
“Santri bisa sabar, tapi tidak akan diam jika kehormatannya diinjak. Pesantren tidak butuh pembelaan dengan amarah, tapi dengan ketegasan dan fakta. Wartawan yang keliru harus berani mengakui kesalahannya,” ungkap Gus Hilmy.
Gus Hilmy menambahkan, peristiwa ini harus menjadi pelajaran bersama bagi semua pihak: bagi insan media agar lebih berhati-hati dan berimbang dalam menulis serta menayangkan tentang dunia pesantren, bagi masyarakat agar tidak mudah percaya pada narasi yang menyesatkan, dan bagi pesantren agar terus membuka diri melalui dialog yang sehat.
“Kita semua belajar dari kejadian ini. Media, masyarakat, dan pesantren punya tanggung jawab yang sama: menjaga marwah, memperluas pemahaman, dan menumbuhkan saling percaya,” tutup Gus Hilmy.