Kejujuran Dihormati, tetapi Tak Selalu Dipilih: Mengapa Partai Jujur Sulit Menang?

Muhammad Sakur

Setiap pemilu tiba, keluhan publik terdengar nyaris seragam. Politik dinilai mahal, transaksional, dan dikuasai elite. Publik mengecam politik uang, patronase, dan janji kosong. Namun ironinya, ketika ada partai yang mencoba tampil jujur, sederhana, dan anti-transaksi, justru mereka yang sering tersingkir lebih awal. Dari sini, persoalannya bukan lagi sekadar siapa yang salah, melainkan mengapa sistem politik kita tampak tidak ramah pada kejujuran.

Mudah saja menyimpulkan bahwa pemilih tidak rasional atau partai baru kurang bekerja keras. Tetapi penjelasan semacam itu terlalu dangkal. Masalah utamanya bersifat struktural. Demokrasi elektoral kita bekerja dengan logika insentif yang tidak netral secara etis. Ia memberi keuntungan pada praktik tertentu, sekaligus menghukum pilihan-pilihan moral yang tidak sejalan dengan logika kekuasaan.

Pemilu di Indonesia berlangsung dalam sistem yang mahal. Biaya kampanye, logistik, saksi, hingga pengamanan suara membutuhkan sumber daya besar. Dalam kondisi seperti ini, partai yang memiliki akses pada modal finansial, jaringan oligarki, dan patronase lokal jelas memiliki keunggulan. Sebaliknya, partai yang menolak politik uang, membatasi sumbangan, dan mengandalkan kerja sukarela justru memulai kompetisi dari posisi yang timpang.

Dalam kajian political finance, situasi ini dikenal sebagai ketimpangan struktural dalam pendanaan politik. Demokrasi elektoral cenderung menguntungkan aktor yang mampu mengonversi modal ekonomi menjadi modal politik. Ketika regulasi pendanaan longgar dan penegakan hukum lemah, pemilu menyerupai pasar bebas tanpa regulasi etika: siapa yang punya modal lebih besar, dialah yang bertahan. Akibatnya, kejujuran berubah dari nilai politik menjadi beban biaya.

Banyak partai baru percaya bahwa integritas akan otomatis diterjemahkan menjadi suara. Namun kenyataan di lapangan jauh lebih rumit. Etika politik tidak selalu terbaca sebagai pilihan rasional oleh pemilih, terutama ketika pemilu direduksi menjadi kontestasi figur, popularitas, dan distribusi manfaat jangka pendek. Dalam konteks ini, politik uang sering dipersepsikan bukan sebagai pelanggaran moral, melainkan sebagai “realitas permainan”.

Bacaan Lainnya

Partai jujur umumnya menolak jalan pintas: tidak membeli dukungan, tidak menjanjikan imbalan personal, dan tidak mengeksploitasi politik identitas. Secara moral, pilihan ini layak diapresiasi. Namun secara elektoral, mereka sering kali sudah kalah sejak awal. Bukan karena gagasannya buruk, melainkan karena arena kompetisinya tidak adil. Demokrasi prosedural berjalan, tetapi demokrasi substantif tertinggal.

Di sinilah konsep path dependence membantu menjelaskan persoalan. Sistem politik Indonesia telah lama membentuk jalur institusional yang bergantung pada praktik patronase, transaksi, dan sentralisasi kekuasaan. Pola ini menciptakan efek penguncian (lock-in), di mana aktor-aktor politik terdorong untuk mengikuti jalur lama karena dianggap paling aman dan realistis. Partai yang mencoba keluar dari jalur tersebut justru menghadapi risiko kegagalan lebih besar.

Tak sedikit partai yang memulai perjalanan dengan niat baik, lalu perlahan beradaptasi demi bertahan hidup. Kompromi nilai dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk eksistensi. Di titik inilah paradoks politik Indonesia terlihat jelas: untuk bertahan, partai harus menyesuaikan diri dengan praktik yang sebenarnya ingin mereka ubah. Sementara mereka yang konsisten pada nilai sering kali gugur lebih cepat.

Menariknya, generasi muda—Gen Z dan milenial—sebenarnya lebih sensitif terhadap isu kejujuran, anti-elitisme, dan konsistensi nilai. Survei menunjukkan bahwa mereka muak dengan kemunafikan politik. Namun pada saat yang sama, mereka juga skeptis bahwa kejujuran bisa benar-benar menang. Pengalaman menyaksikan politik transaksional yang terus berulang melahirkan sikap ambigu: menghormati partai bersih, tetapi ragu untuk “bertaruh suara” pada partai yang dianggap tidak punya peluang.

Di sinilah kejujuran mengalami paradoks paling getir. Ia dihormati sebagai nilai moral, tetapi tidak selalu dipilih sebagai strategi politik. Skeptisisme ini bukan tanda apatisme, melainkan refleksi rasional atas sistem yang selama ini mereka saksikan.

Jika partai jujur terus gagal, kita perlu berhenti menyalahkan aktornya dan mulai mengkritik sistemnya. Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi etika, bukan hanya kompetisi modal. Tanpa pembenahan serius pada regulasi pendanaan politik, transparansi kampanye, dan pendidikan pemilih, kejujuran akan terus berada di posisi marginal. Pertanyaan pentingnya bukan lagi mengapa partai jujur kalah, melainkan apakah kita rela hidup dalam demokrasi yang membuat kejujuran tidak kompetitif.

Pada akhirnya, partai jujur dihadapkan pada dilema klasik: mengejar kemenangan cepat dengan kompromi nilai, atau menempuh jalan panjang yang konsisten dengan risiko kalah berulang kali. Keduanya memiliki konsekuensi. Namun jika demokrasi hanya diisi oleh partai yang bersedia berkompromi dengan ketidakjujuran, pemilu kehilangan makna etikanya. Demokrasi bukan semata soal menang dan kalah, melainkan tentang nilai apa yang kita izinkan untuk hidup di dalamnya. Barangkali, kekalahan partai jujur hari ini bukan kegagalan mereka semata, melainkan cermin bagi kita semua—bahwa demokrasi kita masih mahal, belum adil, dan belum sepenuhnya ramah pada kejujuran.

*Muhammad Sakur, penulis adalah Pengamat Politik Muda dan Wasekjen PP IPDA

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *