JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pemberian rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto kepada mantan Direktur Utama PT ASDP 2017–2024, Ira Puspadewi, dan beberapa pihak lainnya tidak akan mempengaruhi atau melemahkan kerja penegakan hukum dalam kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN). KPK menegaskan rehabilitasi merupakan ranah yang berbeda dari proses hukum yang telah berjalan.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menekankan bahwa keputusan tersebut tidak dapat dianggap preseden buruk.
“Terkait dengan hal tersebut bagi kami itu bukan merupakan preseden buruk karena ini berbeda ya,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (25/11) malam.
Asep menjelaskan bahwa seluruh tahapan penanganan perkara telah ditempuh sesuai ketentuan, baik secara formil maupun materiil. Gugatan praperadilan yang diajukan sebelumnya juga dimenangkan oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Perkara akuisisi yang berlangsung pada 2019–2022 akhirnya diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Pada Kamis, 20 November 2025, majelis hakim menjatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara serta denda Rp500 juta subsider tiga bulan terhadap Ira Puspadewi. Sementara dua terdakwa lainnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry MAC, divonis masing-masing empat tahun penjara dengan denda Rp250 juta subsider tiga bulan.
Putusan nomor 68/Pid.Sus-TPK/PN.Jkt.Pst itu diwarnai dissenting opinion, dengan Ketua Majelis Sunoto menilai seharusnya para terdakwa dilepaskan karena tindakan akuisisi dilindungi prinsip Business Judgement Rule (BJR) dan lebih tepat diselesaikan sebagai perkara perdata.
Asep menegaskan kewenangan KPK telah selesai setelah pembuktian formil dan materiil dilakukan, sementara pemberian rehabilitasi sepenuhnya menjadi hak Presiden.
“Perlu dibedakan terhadap hasil ya, hasil terhadap keputusan itu kemudian saat ini diberikan rehabilitasi adalah hak prerogatif Bapak Presiden. Jadi, kami tidak lagi ada pada lingkup dari kewenangan tersebut,” tuturnya.
Kasus ini menjadi sorotan karena kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,25 triliun. Meski terjadi perbedaan sikap dalam putusan pengadilan, KPK menegaskan komitmennya bahwa proses hukum telah dijalankan hingga tuntas.
