Mahabharata dan Sentralisasi Kekuasaan: Cerminan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer

Dikri Mulia

Wayang merupakan cerminan kekayaan intelektual yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Disamping menjadi hiburan, wayang juga menjadi wahana pembelajaran yang kaya akan muatan nilai kebaikan dan filosofi kehidupan. Melalui laku para lakon, tata krama seperti keadilan, jujur, tanggungjawab, dan kesungguhan dalam melakukan sesuatu diajarkan. Nilai-nilai tersebut tentu relevan untuk dijadikan pegangan hidup dalam berbagai sektor, termasuk politik dan pemerintahan.

Mahabharata menjadi epos terbesar dalam dunia wayang. Selain menampilkan kisah-kisah heroik dan mitologis, di dalamnya mengandung pelajaran penting mengenai tata pemerintahan. Salah satu isu sentral dalam cerita a quo adalah mengenai sentralisasi kekuasaan yang dipegang oleh Duryodhana dalam memimpin Hastinapura tanpa adanya kontrol moral dan institusional. Hal ini agaknya „sewarna‟ dengan kondisi Indonesia saat ini. Meskipun bangunan struktur kenegaraan sudah didesain untuk menciptakan mekanisme check and balances dan menghilangkan kekuasaan yang terpusat dalam satu lembaga, namun dalam praktiknya hal tersebut luntur akibat adanya “koalisi gemuk”.

Kekuasaan dalam Cengkraman Duryodhana

Duryodhana merupakan tokoh sentral kurawa yang masih saudara sepupu dengan pandhawa. Ia menempati posisi raja di Hastinapura yang semestinya menjadi hak Pandawa sebagai pewaris sah. Pandu (ayah Pandawa sekaligus raja Hastinapura sebelumnya) mendapat kutukan dari Resi Kindama yang mengharuskannya melepas tahta kerajaan. Kepemimpinan kemudian diserahkan kepada saudara laki-lakinya, Dretarasta (ayah kurawa) dengan perjanjian akan dikembalikan kepada pandawa setelah ia dewasa. Namun, karena kelicikan Duryodhana, melalui permainan dadu, Pandawa dibuang ke hutan dan kehilangan kerajaan mereka. Sejak saat itu Duryodhana mengambil alih Hastinapura sebagai raja.

Kepemimpinan Duryodhana kemudian menampilkan model sentralisasi kekuasaan yang ekstrem. Ia memegang kendali pemerintahan secara absolut dan seluruh keputusan dikonsentrasikan pada dirinya. Fenomena seperti ini sebetulnya lumrah dicumpai dalam negara yang menganut sistem kerajaan. sebagaimana logika doktrin kedaulatan yang digagas oleh Jean Bodin, bahwa kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. bahkan, perintah raja menjadi aturan umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan umum. Raja sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires as subditos legibusque soluta potestas).

Bacaan Lainnya

Namun demikian, penting untuk melakukan analisis terhadap proses yang dilakukan oleh raja dalam membentuk suatu kebijakan (policy making). Karena di situlah letak yang paling menentukan positif tidaknya suatu kebijakan. Dalam konteks Duryodhana, ia memiliki penasihat kerajaan yang diisi oleh negarawan senior. Diantaranya adalah Bhisma yang selalu menjunjung dharma (kebenaran) dan Vidura yang terkenal mengedepankan nalar daripada kekerasan. Nasihat keduanya yang landasi kebijaksanaan dan kecintaan terhadap negara selalui diabaikan oleh Duryodhana.

Lebih lanjut, disamping mengabaikan pesan moral, Duryodhana juga mengabaikan tradisi politik keluarga kuru serta mengandalkan kekuatan pribadi dan taktik manipulatif untuk menjaga hegemoni politiknya. Misalnya penolakan atas rekonsiliasi yang diajukan Pandawa dan permainan dadu sebagai alat politik. Hal ini menunjukan bahwa sentralisasi kekuasaan melahirkan arogansi politik yang membutakan pemimpin dari konsekuensi tindakannya. Akhirnya, tindakan-tindakan yang diambil mengantarkannya pada perang Bharatayudha yang meluluh lantahkan semua kekuasaannya dan menghancurkan sebagian besar bangsa kuru.

Indonesia dalam Bayang-Bayang Imperial Presidency

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *