Mahabharata dan Sentralisasi Kekuasaan: Cerminan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer

Dikri Mulia

Apa yang terjadi di Hastinapura kala dipimpin oleh Duryodhana memiliki resonansi yang kuat dengan dinamika ketatanegaraan Indonesia saat ini. Beberapa tahun belakangan ini, dominasi koalisi besar dan hampir absennya oposisi mengarahkan kehidupan politik kita pada sentralisasi kekuasaan. Dimana cabang kekuasaan mendominasi cabang kekuasaan lain yang dalam hal ini adalah Presiden.

Merujuk pada teori pembagian kekuasaan (distribution of power) yang dicetus oleh Montesquieu, kekuasaan negara dibagi dalam tiga cabang (trias politica) yaitu (i) kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang; (ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan; (iii) kekuasaan yudikatif untuk memghakimi. Tiga cabang kekuasaan tersebut harus dipisahkan dan dijalankan oleh person yang berbeda. Jika didominasi oleh satu cabang kekuasaan, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan dan pemerintahan tirani. Pemikiran dari Montesquieu tersebut memberikan landasan pemahaman mengenai urgensi pemisahan kekuasaan.

Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini, mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang bertumpu pada presiden dan mengaburkan prinsip pemisahan kekuasaan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang semestinya memegang dominasi kekuasaan legislasi untuk membuat rambu-rambu kebijakan bagi presiden, justru tampak sebagai perpanjangan tangan presiden dalam menyetujui kebijakan strategis. Hal ini misalnya tercermin dari percepatan pengesahan revisi Undang-Undang TNI baru-baru ini. Aspirasi masyarakat sebagai bentuk meaningfull participation dalam pembentukan undang-undang diabaikan.

Tak hanya lembaga legislatif, lembaga yudikatif sebagai institusi independen juga tidak luput dari tekanan kekuasaan. Beberapa kali Mahmakah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan kontroversial yang mengakomodasi kepentingan politik tertentu seperti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia calon Capres-Cawapres. Apa yang menjadi temuan publik mengenai adanya keterlibatan eksekutif diafirmasi oleh MKMK. Kejadian serupa bukan tidak mungkin terulang karena 2/3 hakim konstitusi merupakan usulan dari DPR dan Presiden yang keduanya masih dalam satu kepentingan koalisi.

Menurut Djayadi Hanan, dalam penjelasannya pada kuliah tamu di Universitas Indonesia, sentralisasi kekuasaan oleh Presiden terjadi melalui tiga tahap. Pertama, koalisi yang terlalu besar (too much coalition). Hal ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini dimana 83% saat ini didominasi oleh koalisi pendukung presiden. Hanya PDI-Perjuangan yang berada di luar koalisi pemerintahan saat ini yang akhir-kahir ini juga menampilkan kemesraan dengan pucuk kekuasaan eksekutif. Dengan adanya koalisi gemuk tersebut, secara logika politik presiden dapat dengan mudah melancarkan keinginanya tanpa berpayah me-loby parlemen. Tidak ada opsisi yang kuat sebagai penyeimbang dalam melakukan pendalaman suatu kebijakan.

Bacaan Lainnya

Kedua, koalisi tanpa prinsip (promiscuous coalition). Partai politik yang semula memiliki basis nilai perjuangan terhapuskan oleh kepentingan koalisi. Implikasinya, partai-partai yang tergabung dalam koalisi akan cenderung permisif terhadap kebijakan presiden. Ketiga, kekuasaan yang berpusat pada presiden (imperial presidency). Muara dari koalisi yang terlalu besar adalah adanya sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden.

Sistem demokrasi presidensial memang memberikan porsi kekuasaan yang besar kepada presiden. Namun, dalam pelaksanaannya tetap harus mengikuti batas yang ditentukan oleh hukum. Tanpa adanya kepatuhan terhadap hukum, sistem akan tergelincir pada demorasi prosedural tanpa substansi. Kisah kepemimpinan Duryodhana telah memberikan pembelajaran klasik bahwa kekuasaan tanpa penyeimbang dapat membawa kepada keadaan krisis dan keruntuhan negara. Oleh karena itu, penting bagi aktor politik, masyarakat sipil, dan akademisi untuk terus menghidupkan ruang-ruang deliberatif. Benarkah demikian?

*Dikri Mulia, penulis adalah Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *