Jenderal di Medan, Anak di Rumah
Bagi anak buahnya, Farid dikenal sebagai komandan tegas, berani, kadang keras. Namun di hadapan ibunya, ia hanyalah anak kecil yang dulu sering dimarahi karena telat membuka toko.
“Setinggi apapun jabatan, di depan orang tua kita tetap anak,” kata Farid, menekankan pentingnya bakti.
Refleksi itu menjadi benang merah kehidupannya: dari lorong sempit desa Petrah hingga forum internasional, dari aroma kopi pasar hingga dentuman mesiu operasi militer, semua berpulang pada doa orang tua.
Pulang ke Akar, Pulang ke Doa
Farid menegaskan kemenangan terbesar bukanlah saat menutup pengepungan di Poso atau menerima gelar doktor dengan predikat hampir sempurna, melainkan saat bisa memeluk ibunya di warung kecil atau mengusap keringat ayahnya di kursi roda.
“Saya berdiri di sini bukan karena keajaiban. Tapi karena doa orang tua,” tegasnya.
Di Pasar Tanah Merah, kisah seorang jenderal merakyat menemukan makna: bahwa di balik pangkat dan prestasi, ada akar kesederhanaan yang tak pernah tercabut. Bagi Farid, keberkahan hidup datang dari kesetiaan menjaga nilai warung kecil: kejujuran, kerja keras, dan restu ibu-bapak.