MBG di Persimpangan Fiskal: Investasi Gizi atau Ancaman Stabilitas Ekonomi?

Ilustrasi

Bayangkan sejenak jika ekonomi Indonesia adalah sebuah kapal besar yang tengah berlayar di laut bergelora, maka Program Makan Bergizi Gratis (MBG) ibarat badai yang datang dengan janji hujan kesuburan sekaligus ancaman angin topan. Tahun 2025, pemerintah menggelontorkan dana fantastis sebesar Rp71 triliun untuk program ini, sebuah investasi untuk memperbaiki gizi masyarakat sekaligus menghidupkan denyut nadi ekonomi. Namun, di tengah lautan yang sedang tak menentu, rasio penerimaan negara hanya sebesar 11,9% terhadap PDB dan proyeksi defisit anggaran yang membengkak hingga 2,8% menurut OECD (2025). Gambaran dari secercah data tersebut menyeruak hingga memunculkan suatu pertanyaan menggantung seperti awan gelap: Apakah MBG ini suluh harapan yang menyinari masa depan, atau justru akan menjadi bom waktu fiskal yang mengguncang stabilitas ekonomi nasional?

Dari Mimpi ke Realita: Sebongkah Kisah Lahirnya Program MBG

MBG bukanlah bencana yang tiba-tiba; ia lahir dari kegelisahan panjang atas kondisi gizi bangsa yang masih memprihatinkan. Dengan derita stunting yang mengakar di sekitar sepertiga anak Indonesia, program ini adalah tarian raksasa di tengah panggung strategi pembangunan SDM. Tujuannya jelas: menuntaskan masalah gizi buruk, menaikkan kualitas sumber daya manusia, sekaligus merangsang ekonomi lokal melalui penyerapan produk UMKM.

Dalam konteks politik, MBG menjadi bintang utama program prioritas nasional 2025. Terpampang di lampu sorot media dan menjadi perbincangan hangat publik, program ini adalah simbol harapan sekaligus kontroversi, karena mereka yang mendukung menilai MBG sebagai investasi jangka panjang, sementara pihak skeptis waspada akan dampak fiskal yang mengancam.

Potensi Ekonomi MBG: Membangun Oase di Gurun Krisis

Bacaan Lainnya

Seperti aliran sungai segar, MBG mampu menyuburkan lahan ekonomi yang selama ini kering kerontang. Studi dari INDEF (2025) memperkirakan bahwa MBG dapat mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 0,06% atau sekitar Rp14,6 triliun-sebuah angka yang, walau tampak kecil, adalah kilatan harapan di tengah ekonominya yang sengsara.

Tidak cuma itu, MBG ikut mendongkrak penyerapan tenaga kerja sebesar 0,19%, sementara upah pekerja sekecil 0,39% turut naik, membuka pintu bagi perbaikan kesejahteraan. UMKM pun menjadi pemain kunci dalam panggung ini: pendapatan mereka meningkat rata-rata 33,7%, dengan penambahan tiga pekerja per unit usaha. Paha-paha petani dan sektor logistik ikut bergerak, terdorong oleh permintaan bahan pangan untuk program ini-menciptakan efek berantai yang dalam teori ekonomi disebut multiplier effect.

Tidak sulit menemukan cermin keberhasilan ini di panggung dunia. India, dengan Program Mid-Day Meal Scheme, telah menghadirkan perbaikan dramatis dalam kesehatan dan partisipasi sekolah, mengikis angka stunting sekaligus menyalakan lompatan sosial. Amerika Serikat lewat SNAP (Supplement Nutrition Assistance Program) menghidupkan daya beli keluarga miskin, menciptakan siklus konsumsi yang menggerakkan roda ekonomi lokal.

Brazil juga layak mendapat sorotan, dengan Bolsa Familia yang memberikan subsidi pangan dan uang tunai bersyarat. Program ini bukan hanya menurunkan kemiskinan secara signifikan, tapi juga meningkatkan kesehatan anak dan mempercepat pertumbuhan ekonomi pedesaan. Di benua Afrika, meski anggaran terbatas, program bantuan pangan di negara seperti Ghana dan Kenya berhasil memacu kesehatan ibu dan anak serta menggeliatkan sektor pertanian lokal.

Dengan segala contoh dan data itu, MBG Indonesia berpotensi menjadi lentera yang menerangi jalan menuju kesejahteraan dan pertumbuhan inklusif – jika tatakelolanya rapi

Risiko Fiskal dan Tantangan Implementasi: Badai yang Mengintai

Namun, seperti juga badai yang bisa membawa musibah, keberhasilan MBG dipertaruhkan pada manajemen fiskal dan pelaksanaan yang tepat. OECD memperingatkan angka defisit yang berpotensi membengkak dari 2,3% pada 2024 menjadi 2,8% pada 2025, angka yang mengingatkan kita pada jurang fiskal yang menganga.

Rasio penerimaan negara yang hanya 11,9% dari PDB menjadi titik lemah yang serius. Artinya, ruang fiskal Indonesia amat sempit; utang baru dan pengeluaran besar bisa membebani neraca keuangan negara. Hal ini makin diperparah dengan laporan Media Indonesia yang menyatakan realisasi anggaran MBG baru 7,1% pada semester I 2025, membuktikan bahwa kapasitas birokrasi dan sistem distribusi masih jauh dari efisien.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *