Menag Nasaruddin Umar Minta Kampus Islam Hidupkan Kembali Ilmu Islam Klasik

Menteri Agama, Nasaruddin Umar targetkan wakaf pendidikan 1 Triliun Rupiah per Tahun. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Menteri Agama Nasaruddin Umar menyoroti kondisi perguruan tinggi keagamaan Islam yang dinilai semakin menjauh dari tradisi keilmuan klasik Islam. Ia menegaskan bahwa ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu mantik, ilmu moral, ilmu falak, ilmu waris, hingga ilmu hadis merupakan fondasi besar yang pernah membangun kejayaan peradaban Islam, namun kini mulai tidak diajarkan secara serius.

“Namun, ilmu-ilmu tersebut kini semakin terpinggirkan,” ujar Nasaruddin Umar di Jakarta, Jumat (17/10/2025).

Salah satu yang ia soroti adalah ilmu ‘arudh’, ilmu timbangan syair Arab yang menjadi standar estetika bahasa dalam tradisi Islam. Menurutnya, kemampuan berbahasa Arab tanpa pemahaman ilmu ‘arudh’ akan membuat seseorang kehilangan ruh kesusastraan Islam.

“Tanpa menguasai ilmu ‘arudh’, sehebat apapun seseorang berbahasa Arab, ia tidak akan mampu membuat syair. Padahal syair adalah ekspresi budaya Islam yang sarat nilai moral dan keindahan,” kata Menag.

Menag juga menekankan pentingnya ilmu falak, bukan sekadar sebagai cabang astronomi, tetapi sebagai cara untuk membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam semesta.

Bacaan Lainnya

“Ilmu falak mengingatkan kita bahwa segala keteraturan di langit dan bumi adalah cermin kekuasaan Allah. Ulama sejati bukan hanya ahli teks, tetapi juga mampu membaca tanda-tanda alam,” tegasnya.

Ia kemudian mengingatkan bahwa ilmu waris adalah ilmu yang pertama kali akan hilang dari umat jika tidak dijaga. Banyak yang hanya menghafal rumus, namun tidak memahami relevansinya dalam konteks hukum modern. Dalam kesempatan itu, Menag juga mengusulkan perluasan konsep maqasid al-syari’ah.

“Kita harus memahami maqasid al-syari’ah, bukan sekadar fiqhnya. Bahkan saya mengusulkan agar maqasid al-syari’ah tidak lagi lima, tetapi enam, dengan tambahan menjaga lingkungan (hifzh al-bi’ah),” kata Menag.

Ia menutup dengan ajakan agar perguruan tinggi Islam tidak hanya mengajarkan teks Al-Qur’an (kitabullah), tetapi juga mengantarkan mahasiswa memahami makna ilahiah di balik teks (kalamullah).

“Kitabullah bisa dibaca siapa pun, tetapi Kalamullah hanya dipahami oleh mereka yang bertakwa. Di sinilah tugas perguruan tinggi Islam, mengajarkan keduanya secara seimbang,” ujar Nasaruddin Umar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *