Menantang Paham “Not In My Backyardism” dengan semangat Gotong Royong: Refleksi atas krisis bencana Aceh, Sumut dan Sumbar

Sendy Al Thariq Syah

Bencana banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa minggu terakhir kembali memperlihatkan rapuhnya kehidupan sosial masyarakat ketika berhadapan dengan bencana alam. Ribuan rumah warga terendam, infrastruktur rusak, aktivitas ekonomi lumpuh, jaringan listrik padam, dan yang paling memilukan adalah jatuhnya korban jiwa serta trauma mendalam yang harus ditanggung para penyintas. Dalam situasi ini, akses terhadap barang, jasa, dan layanan publik terputus, meninggalkan warga dalam ketidakpastian yang menyesakkan.

Di balik kecemasan itu, nyatanya terselip harapan. Peristiwa ini memantik gelombang empati yang luar biasa. Tidak hanya pemerintah pusat dan daerah yang bergerak, tetapi juga masyarakat dari berbagai provinsi, lembaga kemanusiaan, sektor swasta, influencer, hingga negara sahabat. Semua bahu-membahu menyalurkan bantuan logistik, tenaga relawan, hingga dukungan psikososial. Inilah wujud solidaritas lintas batas menjadi sebuah bentuk kepedulian yang menembus geografi, identitas, dan kepentingan pribadi.

Namun demikian, fenomena ini mengingatkan saya kembali kepada sebuah obrolan ringan bersama dosen saya ketika menempuh studi di Yogyakarta. Sambil menyeruput kopi, beliau memperkenalkan istilah Not In My Backyardism (NIMBY), suatu pandangan yang menggambarkan sikap enggan terlibat atau peduli terhadap masalah yang tidak terjadi “di halaman rumah sendiri.” Asalkan persoalan tidak mengganggu ruang hidupnya, seseorang merasa tidak berkewajiban untuk membantu atau mengambil peran.

Di tengah dunia yang semakin terkoneksi, paham NIMBY sejatinya sudah tidak relevan. Konflik kemanusiaan di Gaza menjadi contohnya: kehancuran infrastruktur dan jatuhnya korban sipil memantik dukungan moral dan material dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam tragedi kemanusiaan, batas-batas geografis kehilangan maknanya.

Begitu pula pada bencana Aceh, Sumut, dan Sumbar. Dari penjuru negeri, masyarakat bergerak menggalang dana, mengirim logistik, menjadi relawan, dan memberikan dukungan mental kepada korban. Semua menyatu dalam irama empati kolektif yang menjadi sebuah respons kontradiktif dengan paham NIMBY yang individualistis.

Bacaan Lainnya

Gotong Royong: Identitas Kultural dan Modal Sosial Bangsa

Secara historis, gotong royong adalah urat nadi kehidupan sosial bangsa Indonesia. Para antropolog menyebutnya sebagai moral economy yakni model ekonomi berbasis solidaritas yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan individual. Dalam tradisi Minang, batagak kudo-kudo dan badoncek menunjukkan praktik kerja bersama untuk menyelesaikan persoalan komunal. Dalam teori Émile Durkheim, praktik semacam ini disebut sebagai solidaritas mekanik yakni kohesi sosial yang muncul karena kesamaan nasib dan nilai.

Jejak gotong royong juga tampak dalam kerja sama global. Ketika tsunami mengguncang Aceh pada 2004, puluhan negara, dari Amerika Serikat hingga Jepang, bergotong royong mengirim bantuan, tenaga medis, dan rekonstruksi. Solidaritas lintas negara ini bukan sekadar tindakan filantropis, tetapi wujud dari kesadaran bahwa bencana tidak mengenal batas kedaulatan.

Gotong royong, dalam konteks modern, bukan lagi hanya praktik lokal, tetapi bagian dari ekosistem solidaritas global yang memungkinkan masyarakat saling menopang dalam situasi krisis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *