Menteri PPPA Tegaskan Kasus Perundungan Siswi MTs di Donggala Jadi Alarm Penting Peran Keluarga

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Kasus perundungan terhadap seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Donggala, Sulawesi Tengah, menyita perhatian publik setelah video tindak kekerasan tersebut menyebar luas di media sosial. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menegaskan bahwa kasus ini menjadi peringatan keras mengenai lemahnya fungsi keluarga dalam mengasuh dan melindungi anak.

“Ketidakberfungsian peran keluarga untuk memberikan pengasuhan dan perlindungan yang layak kepada anak turut berpotensi melibatkan anak menjadi korban atau pelaku tindak kekerasan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/9/2025).

Peristiwa itu bermula ketika korban diduga melaporkan teman-temannya yang membolos sekolah untuk menemui seorang rekan laki-laki pada 9 September 2025. Keesokan harinya, korban mengalami perundungan oleh tujuh siswi lain, yang kemudian direkam dan diunggah ke media sosial hingga viral.

Menteri Arifah menyayangkan tindakan tersebut, sekaligus menekankan bahwa pemerintah segera turun tangan memberikan pendampingan. “Kami telah berkoordinasi dengan UPTD PPA Sulawesi Tengah dan DP3A Kabupaten Donggala. Telah dilakukan penjangkauan korban untuk mendapatkan pendampingan psikologis dan pemulihan. Para anak terlapor juga mendapatkan pendampingan oleh Sentra Nipotowe dan Dinas Sosial Sulawesi Tengah,” jelasnya.

Pihak sekolah sempat melakukan pembinaan pada 13 September, kemudian mediasi digelar di Polsek Sindue sehari setelahnya dengan korban didampingi oleh neneknya.

Bacaan Lainnya

Secara hukum, para terlapor dinilai melanggar Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara hingga tiga tahun enam bulan dan/atau denda Rp72 juta. Mereka juga berpotensi dijerat Pasal 351 ayat (1) KUHP terkait penganiayaan.

Meski begitu, proses hukum akan tetap memperhatikan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015, dengan pendekatan restorative justice yang memungkinkan diversi bagi pelaku anak di bawah 12 tahun.

Kasus ini menegaskan pentingnya sinergi keluarga, sekolah, dan lingkungan dalam mencegah terulangnya kekerasan terhadap anak, baik sebagai korban maupun pelaku.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *