Dewasa ini perkembangan tidak dapat dipastikan mengarah kepada hal yang benar ataupun salah. Dampak globalisasi1 menimbulkan keilmuwan yang kompleks dan unpredictable. Termasuk ilmu hukum sendiri merupakan bidang keilmuwan yang luas dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Tidak jarang hukum tertinggal oleh perkembangan zaman yang sangat pesat, sehingga tak heran terdapat adigium hukum “hukum tertatih-tatih mengikuti zaman.”
Salah satu yang menjadi polemik di masyarakat khususnya pada sistem hukum Indonesia adalah hukum yang diciptakan sebagai sistem pengaturan berkeadilan bagi masyarakat nyatanya sering kali dicederai oleh subsistemnya sendiri, tidak sedikit ditemukan struktural fomril (tata cara / proses) yang tak benar oleh praktek-praktek yang dilakukan penegak hukum yang berwenang, sehingga dirasa jauh dari prinsip keadilan. Entah dari yang bukan wewenangnya tetapi melakukan, penyalahgunaan wewenang, ataupun wewenang yang dilebih-lebihkan (abuse of power).
Disisi lain pertanggung jawaban dari kesemuanya itu hanya sebatas formalitas belaka untuk menenangkan / memberikan rasa lega terhadap korban tanpa memberikan efek jera yang pasti kepada pelaku. Hal demikian menjadi suatu yang sepele dan diremehkan sehingga tidak sungguh-sungguh dalam mengemban amanah dan tanggung jawab. Pada kemudian hari apabila hal ini terjadi lagi menjadi suatu hal yang tidak solutif. Sehingga muncul isu yang menarik untuk dibahas yakni mengapa sub sistem hukum (penegak hukum) sering kali problematik dalam penegakkan hukum di masyarakat?
Perlunya dipahami definisi hukum yakni sebuah alat untuk mengatur tata tingkah laku manusia dalam melakukan segala perbuatannya disuatu wilayah. Sehingga dapat mengontrol antara hak masing-masing orang agar tidak bertentangan atau saling mencederai hak orang lainnya. Atas dasar ini hukum harus mendasari prinsip keadilan, yakni meletakkan suatu hal (hak) pada tempatnya / tidak berbuat dzalim kepada orang lain. Disisi lain hukum juga harus mendasari prinsip kepastian sebab semua orang pada dasarnya dibebaskan melakukan segala kegiatan apabila tidak ada aturan yang melarang (nullum delictum nulla poena sine praevia lege ponali), hal ini kemudian dalam ilmu hukum disebut dengan asas legalitas.
Melihat hal demikian sangat membuka kemungkinan kebebasan menyebabkan dampak yang tidak dapat terkirakan akan menghadirkan keburukan. Maka kepastian disini bertujuan agar memitigasi kekosongan hukum yang dapat menyebabkan kebabasan manusia yang tak bertanggungjawab. Disisi lain Gustav Radbruch menambahkan tujuan hukum tidak hanya mendasari keadilan dan kepastian tetapi juga kemanfaatan. Prinsip kemanfaatan ditujukan agar peraturan yang diciptakan memberikan kemanfaatan bagi maslahat.
Akan tetapi menurut penulis sendiri dalam proses mempelajari hukum selama ini, hal yang paling utama menjadi tujuan hukum adalah keadilan, kepastian, dan moralitas yang nantinya akan dibahas dibawah, sehingga asas kemanfaatan akan mengikuti dalam pelaksanaan di masyarakat. Hukum juga dapat diartikan sebagai alat pengontrol kekuasaan.
Diperuntukkan bagi semua masyarakat termasuk yang diberikan wewenang untuk mengatur agar terciptanya equality before the law pada due proces of law. Hal ini sebenarnya sudah diatur secara rigid dalam HUKPer maupun KUHAP yang akan diterapkan kedepan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan penegak hukum yang melenceng dari aturan-aturan tersebut. Maka penting pula prinsip dari penegak hukum yang menjadi dasar dalam penegakkan hukum.
Perlu dipahami definisi moral. Secara etimologi moral berasal dari kata latin2 “moralis-mos-moris” yang berarti adat, kebiasaan, atau tata perilaku. Secara Epistimologi moral dapat digunakan untuk menilai antara yang baik dan buruk. Moral dapat digunakan sebagai dasar penilaian terhadap tingak laku manusia. Dalam hukum indonesia, moral tidak diatur secara ekplisit dalam peraturan. Karena pada dasarnya moral yang mengatur antara yang baik dan buruk bersuumber pada ajaran agama. Indoneisa sendiri dalam mengatur pemerintahan manusia memisahkan antara hukum dan agama sehingga hal ini agaknya menjadi antinomi. Sejatinya Indonesia butuh kemajuan tetapi pesimis dengan agama yang pada dasarnya mengajarkan tentang wisdom.
Hubungan Hukum dan Moralitas
Pada tiap-tiap wilayah dipastikan terdapat aturan (norma) yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Norma disini dapat diciptakan oleh masyarakat disuatu wilayah meliputi norma adat, kebiasaan, atau bahkan keyakinan sehingga tercipta hukum positif. Mengingat tiap individu belum tentu memiliki i’tikad baik terhadap individu lain maka hukum diperlukan untuk mengatur antara yang benar dan yang salah.
