Moralitas Sebagai Penyempurna Hukum

Ilustrasi. (Foto: Kompasiana)

Dalam perkembangannya melihat Indonesia akhir-akhir ini hukum seperti tidak ada wibawa dikarenakan tercederainya prinsip-prinsip hukum oleh penegak hukum yang tak bertanggung jawab. Dari kasus korupsi yang mengakar menjadi sifat koruptif disegala bidang, kolusi, nepotisme / kebiasaan orang dalam atau orang dekat, dan banyak lagi. Padahal pemerintah dalam membuat kebijakan berusaha sangat maksimal menciptakan peraturan yang sangat sempurna untuk maslahat, akan tetapi selalu saja ada oknum-oknum penegak hukum problematik dan semakin meningkat seiring perkembangan.

Disisi lain moral dalam kajian hukum tidak ada patokan yang pasti mennjadi batu uji. Maka penulis berpendapat, mau tidak mau moral yang mengatur nilai baik dan buruk mesti bersumber dari agama. Karena tujuan agama mengajarkan kepada hal yang baik dan itu sebuah kemutlakan. Hal ini mestinya menjadi hal yang mendasar terlebih dalam perekrutan para penegak hukum. Menjadi syarat subjektif seseorang yang diberikan wewenang yang besar harus memiliki nilai moral / agama yang tinggi.

Sayangnya, hal yang demikian menurut penulis adalah karena rendahnya moralitas penegak hukum. Indonesia sebagai rakyat yang mayoritas beragama akan tetapi sikap dan tindakan pejabat / penegak hukum / pemegang amanah tidak mepresentasikan nilai dari agama yang dianutnya. Hal ini dikarenakan agama tidak dipahamai secara mendalam. Jika saja hukum dan moral dapat disatukan dengan benar dan sungguh-sungguh akan tercipta manusia-manusia yang berkualitas. Hal ini juga dapat menciptakan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk kemaslahatan.

Hal ini sebenarnya sebagai kesatuan yang saling melengkapi sehingga dapat menciptakan keputusan / kebijakan yang tepat. Kebijakan dikatakan tepat apabila masuk dalam koordinat nilai benar dan baik (putih), sebaliknya kebijakan yang tidak tepat / ngawur apabila masuk kedalam koordinat nilai yang salah dan buruk (hitam). Kebijakan harus diprioritaskan kepada nilai yang benar dan baik, akan tetapi belum tentu semua kebijakan dapat mencakup nilai yang sempurna (benar dan baik). Sehingga tidak menutup kemungkinan kebijakan dibuat di tengah-tengah nilai tersebut (abu-abu) antara nilai yang benar tapi salah atau salah tapi baik.

Hal ini kemudian akan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Contoh dalam kehidupan adalah mobil ambulan yang melawan arus demi menyelamatkan nyawa seseorang yang sedang kritis. Contoh lain menyogok penegak hukum untuk melakukan hal yang benar sesuai aturan, karena dalam prakteknya banyak oknum menyogok penegak hukum untuk melakukan keburukan / menghindari pertanggungjawaban / keuntungan individualis. Maka mau tidak mau untuk menyelamatkan hal itu perlu dilakukan sesuatu yang salah tetapi dirasa baik untuk dilakukan.

Bacaan Lainnya

Moralitas Sebagai Dasar

Penulis memahami hal yang paling sulit diubah dan diperbaiki adalah akhlak, dalam bahasa hukum disebut dengan moral, dalam bahasa Indonesia disebut dengan adab / tingkah laku, dalam bahasa jawa disebut unggah-ungguh / tindak tanduk. Bahkan pada zaman jahilliyah untuk menyempurnakan kelakuan manusia diturunkan utusan tuhan (nabi) untuk membimbing manusia kepada jalan yang benar & baik. Sayangnya pada zaman modern ini hal tersebut tidak lagi terjadi dan manusia diharuskan belajar dari masa lalunya.

Tugas orang yang lebih tua membimbing dan memberi pelajaran, tugas orang yang lebih muda adalah belajar. Tidak menutup kemungkinan kebalikannya. Sistem hukum yang sangat menentukan nasib orang lain harus dipegang oleh orang yang moral kuat dalam melaksanakan wewenangnya. Sehingga mengecilkan kemungkinan akan keburukan / kemudhorotan. Terlebih di zaman yang serba cepat dan kompleks ini, tidak menjamin yang menang adalah yang benar atau yang kalah adalah yang salah. Hal ini dapat disimpulkan tergantung pada pendapat orang (law is art of the interpretation) – Prof Eddy Hiariej. Penulis berpendapat hukum dan moral merupakan kesatuan yang saling menyempurnakan sehingga dapat menilai objektifitas permasalahan yang kompleks berdasarkan nilai-nilai yang baik walau dengan aturan yang salah sekalipun.

“Berikan Aku Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara yang baik niscaya akan kuciptakan keadilan walau tanpa peraturan sekalipun” – Bernardus Maria Taverne (1874-1944).

*Asyadd Khubballillah, Penulis adalah Sarjana Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *