Hukum pada hakikatnya adalah cabang ilmu sosial yang mengatur bagaimana manusia seharusnya menjalani kehidupan bersama secara tertib, adil, dan berkeadaban. Ia bukan sekadar kumpulan pasal dan aturan, melainkan refleksi dari nilai-nilai luhur yang tumbuh di tengah masyarakat. Karena itu, hukum bersifat elastis: ia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Marwah hukum sebagai ilmu yang sangat penting dalam realitas sosial tidak pernah luntur, bahkan ketika dunia kini dibanjiri kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan teknologi digital, khususnya media sosial, telah mengubah wajah interaksi sosial kita secara radikal. Jika dahulu masyarakat bisa hidup tanpa keterikatan dengan media sosial, hari ini ketergantungan itu nyaris total. Segala sesuatu—dari informasi, interaksi, hingga ruang ekspresi politik—berpindah ke ranah digital. Pergeseran ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana hukum, sebagai salah satu cabang ilmu sosial tertua, mampu menjawab tantangan perubahan realitas sosial ini, khususnya di Indonesia?
Cita-cita hukum sejatinya sederhana namun agung: menegakkan keadilan. Keadilan berarti memberikan hak yang sama bagi setiap orang tanpa diskriminasi. Namun, dalam konteks teknologi digital, cita-cita luhur ini sering kali terdistorsi. Muncul fenomena populer yang disebut “No Viral No Justice”. Istilah ini lahir dari keresahan masyarakat yang melihat bahwa kasus hukum baru mendapat perhatian ketika ramai di media sosial. Tanpa sorotan publik, banyak kasus seolah dibiarkan mengendap tanpa penyelesaian. Fenomena ini menumbuhkan skeptisisme: hukum dianggap “tumpul ke atas dan tajam ke bawah.”
Kondisi tersebut merupakan alarm bagi dunia hukum Indonesia. Penegakan hukum semestinya berorientasi pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan, bukan pada seberapa viral sebuah kasus. Di sisi lain, tantangan juga datang dari meningkatnya kejahatan siber (cybercrime). Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memang menjadi instrumen utama, tetapi banyak kalangan menilai regulasi ini belum memadai untuk merespons kompleksitas kejahatan digital. Mulai dari hacking, pencurian data, penipuan daring, hingga perundungan (cyberbullying), banyak kasus yang masih sulit ditangani dengan payung hukum yang ada.
Fenomena cyberbullying misalnya, telah menjadi masalah sosial yang serius. Korban sering mengalami tekanan psikologis berat, padahal tindakan yang menjadi alasan perundungan belum tentu salah. Peristiwa seperti ini berulang, namun belum mendapat perhatian memadai dari regulasi kita. Media sosial ibarat panggung bebas, tempat siapa pun dapat melakukan tindak pidana dengan mudah. Tanpa regulasi yang lebih tegas, ruang digital akan terus menjadi arena yang rawan bagi korban baru.
Karena itu, batasan-batasan hukum dalam memanfaatkan teknologi digital menjadi pekerjaan rumah besar bagi negara. Realitas sosial yang semakin masif di dunia maya tidak bisa dihindari, tetapi dapat diarahkan. Pemerintah perlu mengambil langkah preventif, tidak sekadar reaktif. Inisiatif untuk memperkuat regulasi siber—entah melalui revisi UU ITE atau pembentukan undang-undang khusus tentang kejahatan siber—perlu segera digagas. Namun hal ini tidak bisa dilakukan sepihak. Negara harus melibatkan akademisi, praktisi, dan masyarakat sipil untuk merumuskan aturan yang tidak hanya melindungi, tetapi juga mendidik masyarakat dalam menggunakan teknologi secara bijak.
Akhirnya, hukum dan teknologi tidak boleh dibiarkan berjalan di jalur yang terpisah. Teknologi terus berkembang, dan hukum harus bergerak seiring untuk memastikan keadilan tidak tertinggal. Jika negara serius menegakkan hukum yang adil di era digital, maka ia harus hadir bukan hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelindung. Dengan begitu, cita-cita keadilan tidak lagi bergantung pada seberapa viral sebuah kasus, melainkan pada tegaknya prinsip hukum itu sendiri.
*Ayatullah Fazlurrahman, penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia