JAKARTA – Perang saudara di Sudan yang telah berlangsung sejak April 2023 kini memasuki fase paling berbahaya. Konflik antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) semakin memperburuk kondisi kemanusiaan dan memunculkan kekhawatiran akan perpecahan Sudan menjadi dua negara.
Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, dalam sepekan terakhir saja (26–31 Oktober 2025), lebih dari 36.800 warga sipil terpaksa mengungsi dari wilayah Kordofan, menyusul serangan besar RSF yang berhasil merebut Kota El-Fasher, ibu kota Negara Bagian North Darfur.
“Setelah perebutan El-Fasher, jumlah kendaraan RSF meningkat. Kami tidak lagi pergi ke pertanian kami, takut akan bentrokan,” kata Suleiman Babiker, warga Um Smeima, yang kini hidup dalam ketakutan di dekat El-Obeid.
Kordofan menjadi medan tempur baru antara kedua kubu. Sejak kemenangan RSF di Darfur, laporan tentang eksekusi, kekerasan seksual, penculikan, dan penjarahan meningkat tajam. Komunikasi di banyak wilayah terputus total, membuat penyaluran bantuan kemanusiaan nyaris mustahil.
Situasi tersebut memicu kekhawatiran internasional bahwa Sudan akan terpecah lagi menjadi dua, seperti pada 2011 ketika Sudan Selatan memisahkan diri. RSF bahkan telah membentuk pemerintahan tandingan bernama Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan yang dinilai pengamat sebagai langkah menuju legitimasi politik baru untuk mempermudah impor senjata.
“Inilah momen yang banyak orang khawatirkan, yaitu terjadi perpecahan. Entah skenario itu terjadi atau tidak, Sudan kini secara de facto telah terpecah belah. Semakin lama perang berlarut-larut, perpecahan ini akan semakin nyata dan sulit ditangani,” ujar Alan Boswell, Direktur Proyek untuk Tanduk Afrika di International Crisis Group (ICG).
Dewan Keamanan PBB menilai tindakan RSF berisiko memperburuk konflik dan memperdalam krisis kemanusiaan yang telah menewaskan lebih dari 150.000 orang serta membuat 12 juta warga mengungsi.
Dari Vatikan, Paus Leo XIV menyerukan penghentian kekerasan dan gencatan senjata segera di Sudan. Ia menegaskan bahwa penderitaan warga sipil tidak boleh dibiarkan terus berlangsung.
“Kekerasan tanpa pandang bulu terhadap perempuan dan anak-anak, serta hambatan terhadap aksi kemanusiaan menyebabkan penderitaan yang tak terelakkan bagi penduduk yang telah kelelahan akibat konflik berbulan-bulan,” ujarnya dalam khotbah Minggu di Roma.
Meski begitu, dunia internasional dinilai lamban dan abai terhadap konflik di Sudan. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, bahkan menyebut ada faktor rasisme dalam minimnya perhatian dunia terhadap perang di Afrika.
“Saya pikir isu rasial berperan di sini,” katanya kepada BBC, mengkritik dunia yang lebih fokus pada krisis di Gaza dan Ukraina.
Sementara itu, mediasi internasional dari AS, Mesir, UEA, dan Arab Saudi belum menghasilkan kesepakatan berarti. Perang terus berlanjut, dengan SAF menguasai wilayah utara dan timur, sementara RSF mengontrol barat dan selatan, termasuk tambang-tambang emas strategis.
Krisis ini membuat Sudan bukan hanya terancam kehilangan kedaulatan teritorial, tetapi juga menghadapi bencana kemanusiaan terbesar di dunia — di mana kelaparan, kekerasan, dan pengungsian massal menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari jutaan warganya.
