Ia menilai, akar persoalan terletak pada data dan klaim kawasan hutan yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan. Berdasarkan data Bappenas 2021, dari total 191 juta hektar daratan Indonesia, 120 juta hektar ditetapkan sebagai kawasan hutan, sementara 86 juta hektar di antaranya masih bertutupan hutan jauh di atas batas minimal 30 persen yang disyaratkan.
“Kalau begitu, kenapa lahan sawit yang justru dikejar-kejar? Bahkan ada 14 juta hektar kawasan hutan telantar. Yang aneh, lahan sawit hasil sitaan justru dikelola oleh PT Agrinas. Kalau memang mau dikembalikan jadi hutan, kenapa malah dikelola sawit?” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia (Aspekpir), Setiyono, juga menyampaikan keprihatinan atas kebijakan tersebut.
“Lahan kami punya sertifikat. Kalau sekarang tiba-tiba (lahannya) dimasukkan ke kawasan hutan kemudian dikenai denda dan disita, artinya pemerintah tidak konsisten dengan programnya sendiri,” katanya.
Setiyono menegaskan, petani mendukung langkah pemerintah memperbaiki tata kelola sawit, tetapi menolak jika kebijakan itu tidak adil dan menyamaratakan rakyat kecil dengan perusahaan besar.
“Kalau ada yang nakal, silakan ditindak. Tapi jangan semua disamaratakan. Petani PIR ini rakyat kecil yang ikut program pemerintah,” paparnya.
Baik Aziz maupun Setiyono berharap Presiden Prabowo dapat turun langsung menertibkan kebijakan di sektor kehutanan agar industri sawit nasional tetap berkelanjutan dan berpihak kepada rakyat.
“Tolong Pak Prabowo tertibkan dulu kehutanan. Kalau tata kelolanya jelas, hukum tegak, rakyat tenang, dan negara pun kuat,” tegas Aziz menutup pernyataannya.
