Di penghujung tahun 2025 ini, Indonesia telah menghadapi krisis kesehatan mental yang kian mengkhawatirkan. Dapat kita lihat pada laporan-laporan terbaru yang menunjukkan adanya lonjakan angka bunuh diri yang sama sekali bukan hal sepele. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri telah tercatat sebanyak 1.270 kasus bunuh diri yang terjadi sejak Januari hingga November 2025.
Kasus-kasus tersebut paling banyak terjadi pada Oktober 2025, yaitu sebanyak 142 kasus. Angka kasus bunuh diri tahun ini memperderas arus tahun sebelumnya, Polri melaporkan bahwa sepanjang 2024 telah terjadi peningkatan sebanyak 100 kasus dibanding 2023. Bahkan di sisi lain, Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) memperkiraan jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 4.750 kasus per tahun.
Angka-angka di atas sepatutnya tidak dianggap sebagai statistik belaka, namun wajib menjadi alarm peringatan bahwasan telah terjadi erosi kesehatan mental pada masyarakat Indonesia. Dibalik angka kasus bunuh diri tersebut, bisa kita bayangkan bagaimana latarbelakang atau tekanan yang mendorong manusia untuk mengakhiri hidupnya.
Remaja-remaja yang merasa kesepian, para mahasiswa yang cemas akan hari depannya, korban-korban perundungan, pekerja yang tertekan perekonomian, hingga orang-orang yang terlilit hutang karena kemiskinan. Artinya, sebagian besar pemicu tindakan bunuh diri ialah tekanan depresi dan masalah ekonomi. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan bahwa depresi merupakan pemicu yang paling berbahaya, terutama di kalangan muda.
Mengacu pada data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, kelompok dengan rentang usia 15 hingga 24 tahun memiliki prevalensi depresi paling tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Ini menjadi sebuah ironi, di mana seharusnya masa remaja menjadi periode eksplorasi jati diri dan pencarian makna, mereka —kaum muda— justru menjadi kelompok paling rentan mengalami krisis kesehatan mental.
Di era serba cepat ini, nampaknya remaja akan mudah terombang-ambing dalam kebingungan. Bukan tanpa sebab, perubahan demi perubahan berlangsung amat cepat bahkan bisa terjadi hanya dalam hitungan menit. Remaja masa kini ditekan untuk terus mengikuti perkembangan dan perubahan yang sulit untuk dikejar yang pada akhirnya menyebabkan burn out pada dirinya sendiri. Dapat kita lihat pada banyaknya kasus-kasus yang telah terjadi, remaja kerap kali didorong oleh rasa kehampaan yang mendalam dan menganggap dirinya sendiri sebagai beban yang tak lagi dapat memiliki tempat. Di titik inilah esensialisme dapat menjadi relevan.
Esensialisme muncul dengan membawa keyakinan bahwa manusia memiliki esensi yang melekat sedari awal manusia tersebut eksis. Dalam konteks krisis kesehatan mental remaja, esensialisme mengajarkan nilai diri yang sepatutnya dijaga terlepas dari prestasi akademik, pencitraan media sosial, atau penilaian orang lain. Nilai tersebut tidak akan hilang meski manusia itu sendiri merasakan jatuh, gagal, atau terpinggirkan. Bagi kaum muda yang terombang-ambing kebingungan dan penilaian eksternal, esensialisme menjadi fondasi yang cukup penting untuk memperkuat ketahanan mental.
Jika berbicara tentang kehidupan remaja sehari-hari, patut disayangkan ketika remaja-remaja kini memiliki pemahaman bahwa dengan melakukan atau mengikuti perkembangan banyak hal maka mereka akan meraih kepuasan untuk diri mereka sendiri, atau bahkan kesuksesan. Padahal kenyataannya hal tersebut justru menjadi penyebab utama mereka mengalami stress karena tidak bisa secara maksimal melakukan hal-hal yang sebenarnya penting bagi mereka.
Dengan terlalu banyak mengambil tindakan dari banyak pilihan dan peluang, mereka akan terdistraksi dari hal-hal esensial. Seperti yang seringkali terjadi pada zaman yang ngebut ini, remaja dengan ponselnya selalu merasa harus mengikuti setiap trend yang muncul secara bergantian, sebab jika tidak, mereka akan merasa tertinggal. Perasaan itulah yang sepatutnya dipahami oleh remaja sebagai musabab dari tekanan yang terjadi pada mentalnya.
Remaja musti menjadikan esensialisme sebagai pakem yang berfungsi sebagai pegangan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan memahami dan menciptakan batas-batas tertentu dalam kehidupannya, remaja akan dapat menghindari tekanan yang muncul dari information overload dan opinion overload.
