JAKARTA – Kasus penganiayaan terhadap seorang juru parkir di Jalan Raya Cinere, Depok, Jawa Barat, yang dilakukan dengan menggunakan senjata tajam oleh oknum pejabat tinggi PT PLN (Persero), terus menuai sorotan publik. Video peristiwa tersebut telah viral di media sosial, menampilkan seorang pria yang diduga kuat sebagai Chorinus Eric Nerokou (CEN), Executive Vice President (EVP) Bantuan Hukum PLN, mengacungkan parang panjang dan melakukan tindakan kekerasan.
Namun yang mengejutkan, pelaku justru tidak ditahan setelah 1×24 jam pemeriksaan dan dilepaskan oleh Polres Metro Depok dengan alasan telah menempuh jalur Restorative Justice (RJ) usai berdamai dengan korban. Keputusan ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan hukum dan masyarakat.
Pengamat hukum Dicki Nelson menilai bahwa tindakan yang dilakukan pelaku tidak bisa serta-merta diselesaikan melalui RJ karena termasuk dalam kategori tindak pidana berat.
“Perbuatan menggunakan senjata tajam untuk melakukan ancaman dan kekerasan fisik merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP dan Pasal 170 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan dan pengeroyokan,” tegas Dicki di Jakarta, Jumat (31/10/2025).
Ia menambahkan, tindakan membawa senjata tajam tanpa izin juga dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, yang ancaman hukumannya mencapai 10 tahun penjara.
“Perbuatan ini tidak hanya melukai korban secara fisik dan psikis, tetapi juga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Artinya, ini bukan sekadar delik pribadi, melainkan menyangkut kepentingan publik dan ketertiban umum,” ujarnya.
Dicki juga menyoroti aspek etika dan profesionalisme karena pelaku merupakan pejabat tinggi di perusahaan milik negara. “Tindakan kekerasan bersenjata oleh seorang pejabat BUMN jelas melanggar prinsip integritas dan profesionalisme sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Tata Kelola Perusahaan yang Baik,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa penerapan Restorative Justice dalam kasus ini perlu dikaji ulang. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021, RJ hanya bisa diterapkan jika tindak pidana tidak menimbulkan keresahan publik dan memiliki ancaman hukuman di bawah lima tahun.
“Kasus ini melibatkan penggunaan senjata tajam, ancamannya di atas lima tahun, dan sudah menimbulkan keresahan masyarakat. Jadi tidak memenuhi syarat untuk RJ,” tegasnya.
Dicki juga menyinggung aspek konstitusional dari peristiwa ini. “Penggunaan senjata tajam oleh pejabat publik di ruang terbuka jelas melanggar hak warga negara atas rasa aman sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Negara seharusnya menjamin perlindungan, bukan membiarkan kekerasan diselesaikan lewat perdamaian,” imbuhnya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Budhi Hermanto saat dikonfirmasi terkait penyelidikan senjata tajam dalam kasus ini menyampaikan bahwa penyidik belum melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti tersebut.
“Ket dari penyidik sejauh ini belum dilakukan sidik terhadap sajamnya. Penyidik masuk dari perkara awal dan tidak menyidik terkait sajam,” ujarnya melalui pesan singkat.
Namun hingga kini, polisi belum memberikan penjelasan lebih lanjut terkait alasan pemisahan perkara antara kekerasan dan kepemilikan senjata tajam, yang menimbulkan dugaan publik bahwa unsur pidananya dikesampingkan.
