STAIDA: Cahaya Baru Peradaban Islam di Kota Dzikir dan Sholawat

Rohman

Dari STIUDA ke STAIDA: Sebuah Lompatan Sejarah

Perubahan besar terjadi pada Jumat, 23 Oktober 2025, ketika STIUDA resmi bertransformasi menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA). Bersamaan dengan perubahan status kelembagaan tersebut, Kementerian Agama juga memberikan izin pembukaan empat program studi baru: Manajemen Pendidikan Islam, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), Hukum Tata Negara (HTN), dan Hukum Keluarga Islam (HKI).

Langkah ini menandai fase baru perjalanan kampus muda tersebut. STAIDA kini tidak lagi sekadar lembaga spesialis di bidang ilmu-ilmu keislaman klasik, melainkan mulai memperluas cakrawala keilmuan Islam dalam konteks sosial, hukum, dan pendidikan.

Namun perlu digarisbawahi: ekspansi ini bukan bentuk kompromi terhadap idealisme, melainkan strategi untuk memperluas jangkauan dakwah keilmuan. Dengan tetap berakar pada Al-Qur’an dan Hadis, STAIDA berusaha menghadirkan tafsir baru tentang Islam yang relevan dengan tuntutan zaman — Islam yang intelektual, moderat, dan berkemajuan.

Bangkalan: Kota Dzikir dan Sholawat, Kota Ilmu yang Bangkit

Bangkalan selama ini dikenal sebagai Kota Dzikir dan Sholawat. Julukan itu bukan tanpa alasan. Tradisi religius masyarakatnya begitu kental: dari surau-surau kampung, pesantren-pesantren legendaris seperti Pesantren Syaichona Cholil, hingga majelis taklim yang hidup di setiap pelosok.

Kehadiran STAIDA di tengah lingkungan seperti ini menjadi momentum penting. Ia menjadi jembatan antara tradisi pesantren yang berakar kuat di masyarakat Madura dan dunia akademik modern yang menuntut rasionalitas ilmiah. Dari sini lahirlah figur-figur muda yang tidak hanya fasih membaca kitab kuning, tetapi juga mampu membaca realitas sosial, hukum, dan kebijakan publik dengan kacamata keislaman.

Bacaan Lainnya

STAIDA berpotensi menjadi poros baru pendidikan Islam di Madura bagian barat, sekaligus mitra strategis bagi pemerintah daerah dan lembaga keagamaan dalam membangun sumber daya manusia yang berkarakter, kritis, dan spiritual.

Perjalanan STAIDA sejatinya sejalan dengan amanat Pasal 31 ayat (5) dan Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa pendidikan dan perekonomian nasional harus diselenggarakan untuk memajukan peradaban bangsa dan menyejahterakan rakyat secara adil. Dalam konteks pendidikan Islam, prinsip ini juga sejalan dengan spirit khilafah fil-ardh (tugas kekhalifahan manusia di bumi) yang menuntut pengelolaan ilmu dan sumber daya untuk kemaslahatan.

Ilmu, dalam pandangan Islam, tidak hanya dipelajari untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk membangun maslahah ‘ammah — kemaslahatan publik. Itulah sebabnya STAIDA memosisikan dirinya bukan hanya sebagai kampus yang melahirkan sarjana, tetapi juga agen perubahan sosial.

Kampus ini berusaha mengembalikan makna pendidikan sebagai ibadah dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid, “Tujuan pendidikan Islam bukan sekadar mencetak manusia religius, tetapi manusia yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan.”

Menjawab Tantangan Pendidikan Islam Kontemporer

Salah satu tantangan besar pendidikan Islam di era modern adalah komodifikasi ilmu. Perguruan tinggi sering kali menjual “gelar” alih-alih menumbuhkan “gairah ilmiah”. Di sinilah STAIDA menawarkan alternatif. Dengan skala yang masih kecil dan komunitas akademik yang dekat, hubungan dosen dan mahasiswa dapat tumbuh dalam semangat ta’lim wa ta’dib — pengajaran sekaligus pembentukan karakter.

Selain itu, STAIDA juga mendorong kolaborasi antara tradisi pesantren dan pendekatan riset modern. Misalnya, penelitian tafsir dan hadis tidak hanya berhenti pada kajian teks, tetapi dikaitkan dengan isu-isu kontemporer seperti ekologi, etika sosial, dan tata kelola pemerintahan. Inilah bentuk aktualisasi maqashid al-syari‘ah dalam konteks dunia akademik.

Di tengah gegap-gempita universitas besar di kota metropolitan, keberadaan STAIDA di Bangkalan mengingatkan kita pada satu hal: bahwa peradaban besar sering lahir dari pinggiran. Sebagaimana Madinah yang dulu hanyalah kota kecil sebelum menjadi pusat dunia Islam, Bangkalan pun memiliki potensi yang sama — jika ilmu dijadikan fondasi kemajuan.

STAIDA menjadi simbol harapan bahwa pembangunan pendidikan tidak harus selalu berpusat di kota besar. Dari kampus sederhana ini, sinar keilmuan Islam bisa menyebar ke seluruh Madura, bahkan ke pelosok Nusantara.

Kini, dengan status barunya dan empat program studi tambahan, STAIDA memiliki tantangan baru: bagaimana menjaga kualitas akademik, memperluas jaringan kerja sama, dan tetap berpegang pada idealisme keilmuan Islam. Tantangan itu besar, tetapi keyakinan yang lebih besar telah terbukti sejak awal berdirinya.

STAIDA bukan sekadar kampus. Ia adalah manifestasi keberanian intelektual dan spiritual — keberanian untuk menegakkan ilmu di tengah pragmatisme, keberanian untuk tetap religius di tengah modernitas, dan keberanian untuk memadukan iman dengan nalar.

Jika universitas modern lahir untuk melahirkan knowledge workers, maka STAIDA bertekad melahirkan knowledge guardians — penjaga ilmu, adab, dan peradaban.

Dari kampus kecil di Kota Dzikir dan Sholawat ini, cahaya Islam yang berakar pada Al-Qur’an dan Hadis akan terus menyinari perjalanan bangsa. Karena sejatinya, ketika ilmu dijaga dengan iman, maka peradaban akan tumbuh dengan kemuliaan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *