Tenaga Ahli Utama PCO Tegaskan Pengeluaran 21 Ribu Pehari Tak Jadi Patokan Garis Kemiskinan

Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan, Dedek Prayudi. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Pemerintah menegaskan bahwa pemahaman publik mengenai angka garis kemiskinan nasional tidak boleh disederhanakan hanya dengan membagi angka bulanan menjadi hitungan harian. Hal ini disampaikan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Dedek Prayudi, menanggapi tanggapan publik terhadap data kemiskinan terbaru dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

“Tidak seperti itu logikanya,” ujar Dedek kepada media di Jakarta, Rabu (30/7/2025).

Lebih lanjut, ia menjelaskan, angka Rp609.160 per kapita per bulan yang dijadikan acuan garis kemiskinan oleh BPS bukanlah jumlah yang bisa dibagi rata menjadi sekitar Rp21.000 per hari, apalagi untuk satu keluarga. Menurutnya, penghitungan itu berlaku untuk individu, sehingga dalam satu rumah tangga dengan lima anggota misalnya, maka batas kemiskinan harus dikalikan lima.

“Kalau anggota keluarganya lima orang maka Rp609.000 dikalikan lima, jadi Rp3 juta. Bukan lagi Rp21 ribu per hari untuk satu keluarga,” tegasnya.

Dalam laporan Susenas, angka kemiskinan nasional tercatat 8,47 persen, mengalami penurunan dari 8,57 persen pada September 2024. Jumlah penduduk miskin juga turun menjadi 23,85 juta orang. Garis kemiskinan sendiri ditentukan berdasarkan kebutuhan dasar konsumsi rumah tangga, baik makanan maupun non-makanan.

Bacaan Lainnya

Menanggapi perbedaan data antara BPS dan Bank Dunia yang menyebutkan angka kemiskinan Indonesia mencapai 194 juta orang, Dedek menjelaskan bahwa hal itu disebabkan oleh perbedaan metodologi. Bank Dunia menggunakan standar purchasing power parity (PPP) untuk perbandingan antarnegara, sedangkan BPS menggunakan pendekatan yang mengacu pada pola konsumsi lokal dan kondisi harga regional.

“Bank Dunia menggunakan data global untuk membandingkan negara-negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia, Malaysia, Brazil, dan China. Sedangkan BPS menggunakan harga kebutuhan pokok di Indonesia untuk menentukan garis kemiskinan nasional,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Dedek juga menegaskan bahwa data BPS lebih akurat untuk menangkap potret kemiskinan riil di dalam negeri karena mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Dalam upaya menanggulangi kemiskinan, pemerintah kini menjalankan berbagai program strategis, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk memastikan anak-anak mendapatkan nutrisi yang layak sejak dini. Selain itu, langkah-langkah pengentasan kemiskinan juga dilakukan melalui investasi di sektor pendidikan, kesehatan, dan gizi.

Dedek juga mengutip pernyataan Kepala PCO, Hasan Nasbi, yang menyebut bahwa pemerintah saat ini menerapkan pendekatan multidimensi dalam memetakan kemiskinan melalui Indeks Deprivasi Multidimensi (MDI). Indeks ini dikembangkan bersama oleh Kementerian Keuangan, UNICEF, dan Universitas Indonesia (UI) dan menjadi dasar kebijakan sosial ke depan.

Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026 turut menekankan bahwa kemiskinan tidak lagi semata-mata diukur dari pendapatan, tetapi juga mencakup akses terhadap air bersih, nutrisi, layanan pendidikan, dan hunian yang layak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *