Dalam konteks meningkatnya semangat masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi, realitas sosial menunjukkan sebuah ironi yang kian nyata: tingginya jenjang pendidikan tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas atau jenis pekerjaan yang diperoleh. Ungkapan seperti “pendidikannya tinggi, tetapi pekerjaannya hanya seperti ini” mencerminkan keresahan kolektif yang tersembunyi di tengah masyarakat.
Gelar akademik, yang idealnya menjadi representasi kemajuan intelektual dan kebebasan berpikir, justru kerap kali berubah menjadi beban ekspektasi—baik secara sosial maupun personal. Fenomena ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian antara tujuan ideal pendidikan dan dinamika nyata dunia kerja, yang menuntut refleksi kritis terhadap fungsi dan orientasi pendidikan di Indonesia.
Gelar Tinggi: Simbol Prestasi atau Belenggu Ekspektasi?
Prof. Rhenald Kasali menyatakan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang “memerdekakan, bukan membelenggu.” Namun, dalam kenyataan, tidak sedikit lulusan perguruan tinggi merasa terpenjara oleh harapan sosial yang mengaitkan kesuksesan hanya dengan profesi prestisius.
Masyarakat masih terjebak pada paradigma usang bahwa gelar tinggi harus selalu diiringi dengan pekerjaan yang “setara” secara status maupun penghasilan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 mempertegas ironi ini. Meskipun tingkat pengangguran terbuka (TPT) nasional menurun dari 4,82% menjadi 4,76%, jumlah pengangguran justru meningkat menjadi 7,28 juta jiwa. Yang mencolok adalah TPT lulusan D4 hingga S3 yang mencapai 6,23%, lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA (5,02%) dan SMP (4,18%).
Bahkan, proporsi pengangguran dari kalangan lulusan pendidikan tinggi meningkat menjadi 13,89% dari total penganggur nasional, menandakan adanya ketimpangan antara ekspektasi akademik dan realitas pasar kerja.
Kualitas Diri Tak Dapat Diukur Hanya dari Profesi
Dr. Anies Baswedan, dalam salah satu pidatonya, menegaskan bahwa “pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia.” Pandangan ini menyoroti bahwa kualitas seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pekerjaan atau status sosialnya, melainkan oleh kemampuan adaptasi, etika kerja, dan kontribusi terhadap masyarakat.
Di era disrupsi teknologi dan perubahan sosial yang cepat, kemampuan untuk terus belajar dan bertransformasi menjadi kompetensi yang jauh lebih berharga dibanding sekadar gelar akademik.
World Economic Forum pada 2024 juga menggarisbawahi bahwa keterampilan seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kerja tim kini menjadi prioritas utama dunia industri global.