Ketika massa marah menyerbu rumah mewah, menjarah toko milik pengusaha, atau melampiaskan amarahnya kepada artis yang dulu dielu-elukan, banyak orang terkejut. Mengapa sosok yang dulu dipuja, kini justru jadi sasaran? Mengapa rakyat yang dulu bersorak bangga melihat kekayaan dan popularitas, tiba-tiba menumpahkan kebencian kepada simbol-simbol itu?
Jawabannya sederhana namun pahit: karena di balik simbol kekayaan dan popularitas, rakyat melihat wajah demokrasi yang kian timpang dan transaksional. Demokrasi yang semestinya membuka ruang partisipasi justru dikooptasi oleh modal besar dan popularitas instan. Maka yang dijarah bukan sekadar harta benda, melainkan simbol ketidakadilan sosial yang semakin menganga.
Demokrasi yang Mahal, Partai Jadi Pragmatis
Biaya politik di Indonesia terlalu mahal. Mendirikan partai butuh modal miliaran rupiah. Mengikuti pemilu membutuhkan ongkos raksasa. Logikanya jelas: tanpa uang, jangan bermimpi ikut kontestasi politik. Sejak awal, demokrasi kita sudah dikerangkeng modal.
Situasi ini mendorong partai berubah menjadi organisasi pragmatis. Mereka berhenti menjalankan kaderisasi dan malah mencari figur instan: siapa pun yang punya dua hal—uang dan popularitas. Itulah tiket emas menuju kursi politik.
Kader Tersingkir, Figur Instan Diangkat
Akibatnya, banyak kader partai yang bertahun-tahun berjuang dari bawah justru tersingkir. Mereka kalah oleh artis yang baru masuk sehari atau pengusaha kaya yang baru kenal elite partai, namun langsung diberi posisi strategis. Hampir setiap pemilu, deretan artis papan atas mendadak muncul sebagai caleg dengan nomor urut cantik. Begitu pula para konglomerat yang dengan mudah mendapat jatah kursi, sementara kader militan harus gigit jari.
Fenomena ini melahirkan luka kolektif. Partai yang semestinya jadi sekolah politik berubah menjadi pasar tiket politik, di mana popularitas dan kekayaan lebih berharga daripada dedikasi.
Dari Popularitas ke Politik Uang
Logika transaksional ini melahirkan efek berantai. Karena modal yang keluar harus kembali, kampanye politik berubah jadi ajang dagang. Politik uang menjadi hal biasa. Bansos dipolitisasi, janji instan ditebar, rakyat diperlakukan layaknya konsumen yang bisa dibujuk dengan hadiah lima tahunan.
Akibatnya demokrasi kehilangan substansi. Kotak suara menjadi sekadar ruang transaksi, bukan arena pertarungan gagasan. Rakyat akhirnya kecewa dan mencari jalan pintas: melampiaskan amarah kepada simbol-simbol elite—rumah artis, mobil mewah, atau toko pengusaha kaya.