Artis, Uang, dan Politik: Demokrasi yang Akhirnya Dijarah Rakyat

Muhammad Sakur

Harapan yang Terabaikan

Sebenarnya, ada upaya korektif dari Mahkamah Konstitusi (MK). Misalnya Putusan No. 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan syarat pencalonan kepala daerah, Putusan No. 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden, hingga Putusan No. 114/PUU-XX/2022 yang menekankan pentingnya kaderisasi. MK bahkan mengusulkan syarat minimal tiga tahun keanggotaan bagi caleg DPR dan dua tahun untuk caleg DPRD.

Namun, aturan ini sering hanya dijalankan sebatas formalitas. Partai enggan berubah. Logika uang dan popularitas tetap dominan, sementara kaderisasi dikesampingkan.

Demokrasi Tanpa Keadilan Sosial

Inilah problem terbesar demokrasi kita hari ini: ia berjalan tanpa fondasi keadilan sosial. Demokrasi seharusnya melahirkan regenerasi kepemimpinan, mendidik rakyat dalam politik, dan menghadirkan pertarungan ide. Tapi kenyataannya, demokrasi kita dikooptasi modal.

Karena itu, fenomena rakyat menyerang artis atau menjarah toko orang kaya tidak bisa semata dilihat sebagai kriminalitas. Ia adalah tanda frustrasi sosial, sinyal bahwa rakyat tak lagi percaya pada jalur formal demokrasi. Mereka memilih jalan pintas: menghantam simbol-simbol yang dianggap mewakili ketidakadilan.

Jalan Keluar: Membenahi Partai, Bukan Menyalahkan Rakyat

Solusinya bukan dengan menuding rakyat sebagai perusuh. Justru partai politiklah yang harus berbenah. Mereka harus kembali ke fungsi utamanya: mengkader, mendidik politik, dan memberi ruang regenerasi kepemimpinan yang adil. Kandidasi berbasis merit harus ditegakkan, mekanisme rekrutmen diperketat, dan praktik jual-beli tiket politik dihentikan.

Bacaan Lainnya

Tanpa itu, demokrasi Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran setan. Setiap lima tahun rakyat hanya disuguhi pesta uang, artis instan, dan janji kosong. Sementara rasa keadilan terus menguap, dan legitimasi demokrasi makin rapuh.

“Artis, Uang, dan Politik” pada akhirnya hanyalah wajah dari satu persoalan besar: demokrasi yang dikendalikan modal dan popularitas, bukan gagasan dan kaderisasi. Bila partai tak berani berbenah, jangan heran bila rakyat semakin menjauh dari kotak suara, dan memilih melampiaskan amarahnya di jalanan.

*Muhammad Sakur, penulis adalah Mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *