JAKARTA – Pernyataan Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon yang menyangkal adanya kekerasan seksual, termasuk perkosaan massal terhadap perempuan dalam Peristiwa Mei 1998, memicu kecaman luas dari publik, lembaga HAM, hingga organisasi masyarakat sipil.
Fadli menyebut peristiwa perkosaan massal pada tragedi 13-15 Mei 1998 tidak pernah tercatat dalam sejarah dan hanya sebatas rumor.
“Tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal, dalam peristiwa 1998,” ujar Fadli, yang kini juga terlibat dalam proyek penulisan ulang sejarah.
Pernyataan ini langsung ditanggapi keras oleh Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 organisasi dan individu.
“Manipulasi sejarah, pengaburan fakta, dan pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran,” pungkasnya.
Koalisi tersebut menilai Fadli Zon secara tidak langsung mendiskreditkan kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM, dua lembaga yang secara khusus dibentuk pascareformasi untuk menyelidiki kekerasan Mei 1998, termasuk kekerasan seksual yang menimpa perempuan Tionghoa.
TGPF, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama lima kementerian pada 23 Juli 1998, menyatakan bahwa peristiwa 13-15 Mei 1998 merupakan bagian dari rangkaian panjang krisis sosial-politik yang dimulai sejak Pemilu 1997, penculikan aktivis, hingga penembakan mahasiswa Trisakti. Kerusuhan tersebut mengakibatkan aksi kekerasan, penjarahan, hingga kekerasan seksual sistematis terhadap perempuan.
Laporan TGPF menyebutkan bahwa mereka telah melakukan verifikasi data, wawancara dengan pejabat seperti Letjen Prabowo Subianto dan Mayjen Safrie Sjamsoedin, serta melakukan penelusuran fakta lapangan. Subtim khusus bahkan dibentuk untuk memverifikasi testimoni korban kekerasan seksual.
“Kejadian-kejadian tersebut merupakan rangkaian tindakan kekerasan yang menuju pada pecahnya peristiwa kerusuhan yang menyeluruh pada tanggal 13-15 Mei 1998,” demikian salah satu kutipan laporan resmi TGPF.
Komnas Perempuan, sebagai lembaga negara yang lahir dari rahim reformasi, juga menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa 1998 bukanlah rumor, melainkan fakta sejarah yang didokumentasikan dengan serius oleh berbagai lembaga.
Kritik terhadap Fadli Zon menyoroti urgensi menjaga integritas sejarah dan menghormati para korban, bukan justru menghapusnya dari narasi kebangsaan. Penyangkalan terhadap tragedi kemanusiaan masa lalu, dinilai sebagai bentuk kemunduran demokrasi dan penghinaan terhadap nilai-nilai keadilan.