Ijazah Jokowi: Antara Fakta atau Gosip yang Dipelihara?

Muhammad Sakur

UGM berada di posisi yang tak sepenuhnya nyaman. Jika tuduhan benar, reputasi akademiknya runtuh; jika tuduhan tak terbukti—seperti yang selama ini terjadi—kampus tetap menghadapi cibiran. Reuni akbar alumni Fakultas Kehutanan angkatan 1980 yang menghadirkan Jokowi seharusnya menjadi testimoni final. Namun di era algoritma, video sensasional yang sengaja dipotong justru lebih cepat menyebar dibanding klarifikasi yang runtut.

Masyarakat, di satu sisi, tampak antusias mengikuti drama ini; di sisi lain, mungkin mereka lelah. Lelah pada Roy Suryo, lelah pada gosip keluarga Jokowi, namun tetap kecanduan pada sirkus politik yang jadi hiburan gratis di tengah himpitan ekonomi dan ketidakpastian. Sensasi adalah pelarian yang mudah diakses dan selalu bisa diperpanjang.

Sementara itu, isu-isu strategis—krisis iklim, korupsi bansos, penyusutan ruang sipil, hingga revisi UU yang menggerus demokrasi—pelan-pelan menghilang dari radar. Yang tersisa hanyalah Jokowi, ijazah, dan analisis pseudo-investigatif yang viral.

Suka atau tidak, semua ini menegaskan bahwa Jokowi belum benar-benar meninggalkan panggung. Secara formal ia akan lengser, tetapi secara struktural ia masih berpengaruh. Anak sulungnya mencalonkan diri sebagai presiden, sejumlah menteri kabinet hari ini adalah orang dekatnya, dan banyak penegak hukum tetap loyal. Ia bukan lagi presiden, tetapi masih menjadi kingmaker—pengendali suhu politik dari belakang layar. Dalam konteks itu, gosip ijazah mungkin bukan senjata untuk menjatuhkan, melainkan alat untuk memastikan namanya tak pernah hilang dari percakapan publik.

“Di negeri yang penuh spekulasi, gosip kadang memang lebih abadi daripada fakta”.

Bacaan Lainnya

*Muhammad Sakur, penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *