Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk terjun ke industri tambang batu bara melalui pembentukan PT Berkah Usaha Muamalah Nusantara (PT BUMN) telah memantik perdebatan hangat, baik di kalangan internal Nahdliyin maupun publik luas. Tak sedikit yang menyambut langkah ini sebagai bentuk kemandirian ekonomi organisasi. Namun, di sisi lain, suara kritis muncul dari kelompok muda Nahdliyin, sebut saja Lingkar Studi Kebangkitan Bangsa (LSKB). Seyogyanya tidak hanya LSKB yang menyuarakan kritik ini terhadap sikap yang diambil PBNU untuk terlibat dalam eksploitasi tambang.
Masuknya PBNU ke industri tambang sangat disayangkan. Bukan hanya karena manfaatnya secara riil minim, namun mudaratnya jauh lebih besar. Bagi saya, pandangan ini sebagai upaya menggemakan kembali prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, di mana pelestarian lingkungan merupakan bagian dari ḥifẓ al-bī’ah, penjagaan terhadap alam sebagai amanah Tuhan.
Langkah PBNU ini tampaknya memang memerlukan tinjauan ulang yang lebih kritis. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, eksploitasi tambang batu bara terbukti membawa dampak negatif jangka panjang: pencemaran air, deforestasi, konflik sosial, hingga degradasi kesehatan masyarakat lokal. Penelitian yang dilakukan oleh JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) menunjukkan bahwa aktivitas tambang di Kalimantan Timur menyisakan lebih dari 3.000 lubang tambang yang tidak direklamasi, menelan korban jiwa anak-anak, dan memiskinkan warga sekitar.
Maka menjadi relevan pertanyaan besar yang penting untuk diajukan apakah masuknya PBNU ke industri tambang benar-benar memberikan manfaat jangka panjang, atau justru menggerus kepercayaan warga Nahdliyin terhadap integritas moral pemimpinnya?. Citra religius PBNU selama ini dibangun atas dasar kepedulian sosial, keadilan ekologis, dan perjuangan etika Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Namun ketika lembaga sebesar PBNU terjun langsung ke bisnis ekstraktif yang secara inheren merusak lingkungan, nilai-nilai tersebut bisa dipertanyakan. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa sebagian besar warga Nahdliyin, khususnya di akar rumput, mungkin tidak mendapat keuntungan langsung dari proyek ini. Yang muncul justru risiko pencemaran nama baik organisasi secara sistemik. Soal ini, pernyataan yang sama juga dikeluarkan Cak Imin yang menganggap bahwa sebagian ulama tidak menganggap penting isu lingkungan, terasa seperti sindiran terselubung atas situasi ini. Pertanyaan itu tidak hanya retoris, tetapi juga menyentuh substansi: ada krisis orientasi nilai dalam tubuh organisasi keagamaan besar.
Apakah ini tanda bahwa agama semakin kehilangan daya kritisnya terhadap kekuasaan dan kapital? Ketika organisasi sebesar PBNU justru ikut dalam industri yang bertentangan dengan nilai pelestarian alam, kita patut bertanya kembali: di mana posisi moral agama?