Kita bisa belajar dari pendekatan ekoteologi yang dikembangkan oleh cendekiawan Muslim kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr. Ia menekankan pentingnya kesadaran spiritual dalam merespons krisis lingkungan. Dalam perspektif ini, alam bukan hanya sumber daya ekonomi, tetapi ciptaan Tuhan yang harus dijaga. Maka keterlibatan organisasi keagamaan dalam industri ekstraktif bukan hanya soal legalitas atau efisiensi, tapi menyangkut kredibilitas spiritualnya.
Menjadikan tambang sebagai sumber pemasukan organisasi bukanlah dosa, selama ia dilakukan secara etis, partisipatif, dan ramah lingkungan. Namun ketika masuk ke sektor yang selama ini dikenal penuh konflik, korupsi, dan ketimpangan—tanpa kejelasan tata kelola dan transparansi—PBNU justru berisiko menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.
Di tengah krisis iklim yang semakin akut, umat membutuhkan teladan, bukan justifikasi. PBNU semestinya menjadi garda depan dalam memperjuangkan keadilan ekologis, bukan sekadar ikut dalam arus tambang yang menggiurkan. Kini, saatnya PBNU menimbang kembali: apakah jatah tambang ini benar-benar bentuk kemandirian ekonomi, atau justru jerat moral yang akan mencatat sejarah kelam dalam perjalanan organisasi Islam terbesar di dunia?. Wallahu a’lam bishawab. *Fahmi Budiawan, penulis adalah Aktivis Muda Nadhlatul Ulama