Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

Muhammad Fadhil Bilad

Di Indonesia, partai politik bukan hanya berkuasa di parlemen, tetapi juga di setiap lini pemerintahan. Mulai dari penyusunan kabinet, penempatan pejabat di lembaga negara, kepala daerah, hingga posisi direksi dan komisaris, semua dipengaruhi rekomendasi partai. Realitas ini diperparah dengan praktik di bawah meja yang menjadi “ciri khas” Indonesia. Dengan kekuatan sebesar ini, pertanyaannya: apa peran partai dalam mendamaikan gejolak sosial-politik? Apakah partai hanya sibuk mengumpulkan “setoran” dari gaji, tunjangan, atau proyek-proyek yang digarap kadernya?.

Di tingkat akar rumput, partai politik juga punya pengaruh besar. Keberadaan partai di parlemen dan pemerintahan tak lepas dari dukungan rakyat saat pemilu, yang sering disebut sebagai “pesta demokrasi.” Saat kampanye, partai mendekati rakyat, membentuk komunitas kecil untuk menjaga simpati pemilih dengan janji-janji kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. Namun, setelah pemilu, komunikasi ini meredup. Partai seolah hanya hadir saat butuh suara, bukan saat rakyat butuh didengar. Apakah sarasehan dengan rakyat hanya agenda musiman menjelang pemilu? Mengapa partai tidak menggelar dialog serupa di tengah situasi krisis seperti sekarang?

September Hitam: Ancaman Ketidakstabilan

September ini kita memasuki bulan yang kelam dalam sejarah Indonesia: “September Hitam.” Tragedi Semanggi II, pembunuhan Munir Said Thalib, dan peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini. Di tengah dinamika politik saat ini, kabar tentang partai politik lebih banyak berputar pada manuver elit: Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, Golkar menonaktifkan Adies Kadir, sementara Gerindra, PDIP, dan PKS setuju menghapus tunjangan rumah DPR setelah protes publik. Bahkan, Presiden memanggil ketua umum partai ke Istana Negara. Semua ini mengesankan bahwa partai politik adalah penguasa sejati republik ini, tapi apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat?

Upaya partai saat ini masih jauh dari optimal, terutama jika dibandingkan dengan kekuatan besar yang mereka miliki di setiap lini pemerintahan. Jika eskalasi ketidakstabilan sosial-politik terus diabaikan, rakyat didiskriminasi, kebebasan berekspresi dibatasi, dan aspirasi tidak terpenuhi, maka risiko terburuk mengintai: revolusi rakyat. Partai politik bisa kehilangan legitimasi, digantikan oleh gerakan rakyat yang akan menentukan arah bangsa.

Bacaan Lainnya

Ke Mana Partai Harus Melangkah?

Partai politik harus kembali ke akarnya: rakyat. Mereka harus membuka ruang dialog yang intensif, bukan hanya saat pemilu, tetapi juga di saat krisis. DPR perlu menjalankan prinsip partisipasi bermakna dengan sungguh-sungguh, mendengar dan mempertimbangkan aspirasi rakyat, bukan sekedar menjalankan instruksi pimpinan partai, sekalipun tidak bisa dilepaskan karena realitas yang tersistemik dan sudah menjadi tradisi antara partai dengan kadernya di parlemen, maka sebaik-baiknya instruksi ‘pimpinan partai’ adalah untuk membersamai dan mendengarkan secara utuh aspirasi rakyat. Jika partai gagal menjadi jembatan antara rakyat dan negara, mereka tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga relevansi di mata rakyat. September ini, partai politik punya pilihan: menjadi solusi atau bagian dari masalah. Pilihan ada di tangan mereka, dan waktu terus berjalan.

*Muhammad Fadhil Bilad, adalah Director of Diplomacy and Foreign Affairs, Indonesia South-South Foundation

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *