“Lid, kalak landuk, ajek kanca-kancana akerje bhekte manaek kalerker dari songai ye..” (Lid, ambil cangkul dan ajak teman-temannya ‘kerja bakti menambang batu kerikil dari sungai ya..”
Itulah perintah Alm. Drs. K.H. Anwari Faqih (Kiai Berik) kepada saya saat masih menjadi Siswa MTs Himayatul Islam dan santri beliau di Ummi Roti’ah di Desa Kebun Teluk Dalam, Sangakapura, Bawean-Gresik.
Dengan menggunakan Dialek Bawean. Saya pun langsung menjawab sembari menunduk sebagai bentuk penghormatan ke Kiai, “Enggih keae, bule laksanakan!” (Baik kiai saya laksanakan!)
Percakapan yang sudah berlangsung kurang-lebih 20 dua tahun silam itu kembali terngiang di telinga saya. Bahkan, perintah Kiai itu tedengar lebih nyaring karena menjelang detik-detik perayan akbar Hari Santri Nasional 2025 ada salah satu stasiun televisi yang meng-identikkan tradisi ro’an dengan praktek perbudakan.
Tulisan ini tidak memiliki tendensi memperdalam polemik itu. Tulisan ini hanya ingin menegaskan bahwa sebelum tradisi ro’an viral dijagad maya, Kiai kampung telah mempraktekkannya tradisi ro’an selama berabad-abad. Dan, tidak pernah ada masalah dan geger-geger.
Salah satunya yang dipraktekken pak kepala sekolah yang juga pengasuh pondok pesantren seperti penggalan dialog di atas.
Hanya berbeda istilah saja, Kiai Anwari Faqih mempopulerkan istilah ro’an dengan istilah ‘Kerja Bakti’. Secara lebih berani, bahkan almarhum membawa tradisi ro’an ke lingkungan sekolah formal. Ro’an adalah kegiatan gotong royong untuk pembangunan atau membersihkan lingkungan pondok. Ro’an berakar dari bahasa Arab yakni “tabarrukan” (mencari berkah).
Dalam konteks ini, saya lebih seneng menyebut metode ‘kerja bakti’ ala kepala sekolah Kiai Anwari Faqih sebagai sebuah trobosan baru (ijtihad) model pembelajaran di lingkungan sekolah formal–yang selama dikesankan hanya berhsil mentransfer ilmu pengatahuan, namun gagal menanamkan nilai-nilai karakter (tarbiyah).
Ya, pendekatan kerja bhakti ala Kiai ini semacam pendekatan super-ekstrakurikuler di sekolah formal. Sebuah metode penggemblengan mental dan ruhani yang out of the box dengan memadukan antara ikhtiyar lahir dan batin di lingkungan sekolah–dimana pelaksanaanya berlangsung pada kondisi tertentu. Saat-saat jam krusial sekolah (internal) dan situasi genting di luar sekolah (eksternal):
Pertama, di saat terjadi kekosongan jam belajar siswa karena guru piket berhalangan hadir. Kedua, di saat terjadi kerusakan jalan lingkungan poros desa yang jadi akses utama mobilitas masyarakat. Bisa juga karena tengah ada pembangunan infrastruktur di lingkungan sekolah atau masyarakat.
Walaunpun ‘kerja bakti’ tidak masuk dalam kalender akademik/kurikulum formal lembaga, namun sangat terlihat sekali kalau pak Kiai memiliki perhatian khusus terhadap metode ‘kerja bakti’. Di tangan pak Kiai ‘kerja bhakti’ menjadi salah satu instrumen utama lembaga dalam mencapai target pembelajaran.
Ini bisa dilihat dari intensitas, perhatian, keterlibatan dan pendampingan beliau saat kerja bhaksi berlangsung. Tidak hanya berpangku tangan, beliau berjibaku langsung dalam proses-proses gotong royong siswa.
Di saat sekolah lain berlomba-lomba membangun gedung, menata sisi fisik kelembagaan dan penyesuaian kurikulum sebagai bagian dari strategi branding dan marketing sekolah, pak kepa sekolah malah lebih nengarahkan fokus pandangannya ke sudut yang lain: menggembleng mental siswa lewat media kerja bhakti.
Pertanyaanya, apa pentingnya Kiai yang notabene kepala sekolah memilih berjibaku dan memimpin langsung kerja bakti siswa di lapangan, tidak ubahnya seorang pemimpin proyek yang sedang menjalankan On the Job Training (OJT) bagi calon karyawan perusahan teknik sipil dalam menyusun Detail Engineering Design (DED) dimana menuntut pendampingan super ketat. Bukankah pak kepala sekolah cukup tunjuk dan printah siswa untuk jadi penanggung jawab? Pak Kepala sekolah tinggal duduk dan terima beres saja. Selesai urusan.
Di masa itu, tidak ada yang berani berspekulasi meraba-raba apa yang menjadi terget pak kepala sekolah. Apalagi, tidak jarang perintah kerja bakti pak Kepala sekolah datang hampir jam-jam istirahat sekolah–dimana panas matahari hampir sempurna dan siap menyengat ubun-ubun siswa yang tengah kerja bakti.
Jangankan saya dan teman siswa yang seangkatan (2001), bahkan guru sekalipun saat itu bertanya-bertanya: apa manfaat pengerahan siswa untuk kerja bhakti menambang pasir dan batu krikil di sungai dengan pendidikkan siswa?
Belakangan setelah dipraktikan secara berkala dan berlangsung bertahun-tahun, baru semua mulai tersadar dan merasakan manfaat dari treatment pembelajaran ala pak Kiai itu.
Bahwa metode ‘kerja bhakti’ yang digalakkan pak Kiai bukan hanya tentang kebersihan fisik lingkungan sekolah dan pondok semata, namun lebih dari itu memiliki demensi yang lebih luas–bekait erat dg penempaan spiritual dan pendidikan karakter, seperti menumbuhkan sikap sabar, ikhlas, tanggung jawab, kebersamaan, bahkan sarat dengan internalisasi kepemimpinan, dan managerial.
Sebagai peserta didik, saya sacera pribadi merasakan betul manfaat dari desain pembelajaran model ala “Kerja Bakti” pak Kepala Sekolah ini. Tidak hanya dijejali ilmu pengetahuan, namun juga secara seimbang batinnya juga diisi (mental).
Kecanggihan manfaat penggemblengan mental dari kiai betul-betul saya rasakan manfaatnya sebagai bekal awal begitu saya melanjutkan ke tahap studi lebih lanjut di SLTA-Perguruan tinggi, setidaknya sebagai modal awal saya berkiprah di dunia organisasi dan konteks kemasyarakatan.
Model penggemblengan mental peserta didik dan keteladan alamrhum sebagai pengasuh pesantren dan pendidik sejati sangat membekas dan manfaat untuk kehidupan sosial karena apa yang diajarkan dan dipraktekkan pak Kiai bertumpu pada etos kerja keras, integritas, roduktifitas, dan pengabdian.