Pak Kiai yang saya kenal, memang bukan tipe pemimpin yang suka berpangku tangan, beliau tak segan-segan turun langsung ke lapangan menyelesaikan detail-detail persoalan. Tidak mengherankan kalau beliau sering melakukan sidak baik di lingkungan sekolah maupun pesantren.
Menjadi mitra kerja beliau menuntut kecapakan dan kecerdasan di atas rata-rata. Kecanggihan beliau dalam mengelola lembaga ditopang dengan daya dukung kapasitas managerial dan kepempinan beliau yang mumpuni. Ini sejalan dengan habitus beliau sebagai pembelajar yang baik. Seorang kiai kampung dengan minat baca yang kuat.
Mungkin tidak banyak santri segenerasi saya yang mengerti kalau Kiai nyentrik kita ini sangat update seputar perkembangan di luar, khususnya terkait dinamika pergerakan di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Betapa tidak, beliau verlangganan tidak hanya koran, tapi juga majalah/tabloid. Saat itu adalah barang langka untuk kiai kampung.
Jadi dalam konteks ini wajar saja, beberapa langkah Kiai ini tidak bisa bisa dicerna pakai logika umum. Kiai sudah terbang jauh di depan, santrinya masih tertinggal jauh dibelakang.
Ada satu cerita. Dan, ini sudah masyhur di angkatan saya. Seorang santri pernah kenak semprot (marah besar) oleh kiai. Usut-punya usut kemarahan kiai dilatarbelakangi oleh salah langkah santri karena kurang berkonsentrasi/fokus dalam menggarap suatu pekerjaan.
Persisnya, saat kerja bakti penataan dan resik-resik lingkungan pesantren–yang itu rutin Kiaiakukan bersama santri, biasanya seminggu sekali, seingat saya biasa digelar pada hari Jum’at.
Konteks cerita disini bahwa Kiai sedang menguji ketelitian dan ketahan mental santri: Kiai sengaja menyamarkan materi perintah ke santri, “tolong ambilkan barang itu” sembali menunjuk gudang yang penuh dengan tumpukan peralatan yang letaknya tidak terlalu jauh lokasi kerja bakti.
Sontak, sang santri bengong bak disambar petir karena dapat perintah dadakan dari kiai. Di tengah kebingungan, santri salah tafsir menerjemahkan isi perintah kiai: Maksud Kiai agar kita diambilkan linggis, sang santri malah datang membawa cangkul.
Kegeraman kiai dalam cerita ini sebetulnya merupakan aksi panggung yang sesuai alur skenario. Karena kiai dalam banyak kesempatan selalu men-treatment dua hal dalam kepribadian santrI.
Satu, menyangkut mental. Apakah santri dongkol dan mutung setelah dapat bentakan kiai? Jika mutung, berarti misi harus dilanjutkan dilain kesempatan. Dan, dipastikan ujian batin akan bertubi-tubi datang dalam bentuk penugasan yang lain.
Kedua, menyangkut kepekaan dan pengusaan lapangan: Sejauh mana akurasi perintah kiai bisa ditangkap dengan tingkat eksekusi sang santri di lapangan.
Jika santri bersangkutan berkonsentrasi, cerita salah tafsir santri di atas pastilah tidak akan pernah terjadi. Sang santri dipastikan bisa mengukur alat apa yang perlu diambil dan itu cocok dengan keperluan yang sedang kiai kerjakan.
Model pendidikan super-ekstrakurikuler ala Kiai ini jadi khas dan menarik karena merupakan ekspresi dua otoritas sekaligus, satu sisi adalah penyerapan otoritas keulmaan (karena beliau adalah pengasuh pesantren). Di sisi yang perwujudan dari kecapakan kepemimpin (karena kapasitas beliau sebagai kepala sekolah).
Sebagai ASN guru agama yang digaji oleh negara di satu sisi dan sebagai kiai pesantren di sisi lainnya tentu Kiai perlu menanamkan keteladan moral dan intelektual sekaligus. Bahwa memberikan teladan kepemimpinan bagi lingkungan sekolah itu sangat penting, khususnya bagi guru-guru lainnya yang beliau pimpin sudah menjadi kewajiban.
Bahwa tanggung jawab lembaga pendidikan dan tugas guru sebagai ujung tombak tidak hanya sekadar mentransfer pengetahuan, namun yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan pendidikan akhlak dan kepribadian secara kokoh.
Jika Presiden Jokowi tengah menggalakkan gerakan revolusi mental melalui jalur pemerintahan, maka jauh sebelumnya Kiai Berik telah mengaggas sebuah model penggemblengan mental dan akhlak peserta dengan pendekatan Kerja Bakti dan resik-resik lingkungan.
Melalui warisan model Kerja Bakti siswa, Kiai Berik hendak memberikan pembelajaran kita semua, khususnya para pendidik (guru) bahwa lembaga pendidikan (dengan segala perangkat satuannya, dari level bawah sampai atas) tidak boleh berjarak dan mengangkangi masyakarat.
Di mata beliau pendidikan mesti bisa live in dengan dinamika berkembang di luar bangku sekolah. Agar apa? Agar siswa bisa experiential learning menjadi manusia pembelajar yang tercerahkan. Manusia-manusia Indonesia yang merdeka, peduli, berbudi baik, dan pekerja keras.
Dalam hal ini, tidak berlebihan rasanya kalau saya menyebut almarhum sebagai sebagai salah satu role model pendidik revolusi mental terbaik yang lahir dari pesantren. Semoga warisan ilmu dan keteladannya bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-sehari dan mari kita doakan almarhum diberikan jalan lapang disisi-Nya. Amin.
Abdul Khalid Boyan, penulis adalah Ketua Osis MTS Himayatul Islam 2002-2003