Usaha semacam itu perlu didorong dan memerlukan peningkatan yang substansial. Salah satu contohnya adalah penerapan meritokrasi, yang sejalan dengan visi NTB Makmur Mendunia yang bertujuan melakukan reformasi birokrasi, seharusnya diterapkan untuk menempatkan pejabat dan ASN yang berkualitas serta kompeten sesuai dengan bidang keahlian. Masyarakat mengingat dan menuntut janji yang pernah diucapkan. Sungguh merupakan sebuah keharusan untuk menuntut, karena di NTB posisi birokrasi seringkali diberikan bukan karena kemampuan dan prestasi, tetapi lebih karena hubungan dan koneksi.
Mungkin saatnya NTB merevitalisasi peta jalur kemajuan, melalui pintu utama yang disebut kapabilitas dan mutu. Kita menyadari bahwa Nusa Tenggara Barat dengan karakteristik geografi dan sosial yang unik membutuhkan pemikiran kreatif untuk mengatasi tantangan pembangunan. Maka, pemerintah daerah hendaknya mempertahankan prinsip meritokrasi dalam proses perekrutan dan promosi, serta membuka peluang bagi gagasan-gagasan cemerlang dari semua level birokrasi. Dengan cara ini, birokrasi tidak hanya efektif, tetapi juga peka terhadap tuntutan masyarakat untuk memajukan Nusa Tenggara Barat.
NTB Ala Iqbal-Dinda : Meritokrasi VS Koncoisme
Dalam hal penetapan posisi atau jabatan, meritokrasi dan koncoisme menunjukkan konflik. Keduanya sangat berbeda, sistem meritokrasi mengukur sesuai kemampuan, prestasi dan integritas, sedangkan koncoisme memprioritaskan kedekatan, loyalitas dan hubungan personal. Ketimpangan semacam ini mencerminkan ketidakadilan, merusak semangat kerja dan menghalangi kemajuan lembaga akibat penilaian yang subjektif.
Selanjutnya, budaya organisasi yang positif dapat terbentuk ketika roda pemerintahan yang dijalankan dapat terhindar dan lepas dari konflik kepentingan (self interest). Walaupun meritokrasi sedang ramai diperbincangkan dalam pemerintahan NTB terbaru, praktik koncoisme yang muncul dari waktu ke waktu bisa saja mengancam keberlangsungan meritokrasi.
Seringkali, realitas menunjukkan bahwa kepentingan politik mendominasi, ini dapat merusak sistem demokrasi yang sehat sehingga pengangkatan dan penempatan jabatan-jabatan ASN tidak lagi mengikuti prinsip good governance, dan lebih kepada hubungan koncoisme. Individu yang berkualitas, berkomitmen dan berdedikasi dibiarkan menunggu di jalur belakang, sementara yang dekat dengan kekuasaan dengan mudahnya duduk nyaman di kursi empuk birokrasi.
Apabila koncoisme menjadi fondasi yang kuat dalam menempatkan individu pada posisi-posisi strategis di lingkungan pemerintahan. Maka ujian kompetensi yang biasanya dilakukan hanya dianggap sebagai formalitas demi memenuhi syarat administrasi negara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Koncoisme adalah paham yang mengutamakan kawan sebagai mitra kerja. Dalam perspektif ilmu politik ekonomi, lingkup defenisinya dapat pula diartikan hubungan informal antar mitra kerja baik kawan maupun pejabat yang mengalami ketergantungan pada pemegang kekuasaan.
Kini, fenomena koncoisme semakin jelas dan mengkhawatirkan dalam sistem pemerintahan. Hanya elite yang terhubung dengan penguasa yang pasti memperoleh kekuasaan besar untuk mengendalikan roda pemerintahan. Ketika posisi kepala daerah hanya dapat diakses oleh individu yang memiliki hubungan atau kedekatan dengan elit politik, maka demokrasi yang sebenarnya tidak akan terwujud dan meritokrasi akan hilang dalam sistem semacam ini.
Kondisi ini menghasilkan eksklusivitas dalam pengisian posisi publik, di mana individu atau ASN yang mungkin memiliki kemampuan dan integritas justru terpinggirkan karena kurangnya koneksi dan sistem meritokrasi akan kalah secara signifikan oleh hubungan koncoisme. Di Nusa Tenggara Barat, meritokrasi sepertinya masih dianggap sebagai tamu tak diundang diantara kalangan elit. Padahal koncoisme hanya akan menghancurkan sistem pemerintahan dan berujung pada lahirnya masyarakat nekrofilia yang menjadi pengambil kebijakan.
Masyarakat nekrofilia yang muncul akibat koncoisme akan menjadi penyakit birokrasi yang sulit diatasi, hingga good governance hanya sekedar impian dan ilusi semata. Akhirnya, meritokrasi tersisih oleh kekuatan sistem koncoisme dalam pemerintahan yang mengklaim demokratis dan transparan. Pada akhirnya harapan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera dan pemerintahan yang bersih dari KKN dalam bingkai NTB Makmur Mendunia tentu akan terhambat antrian panjang akibat pemerintahan koncoisme yang telah menyedot sumber daya.
*Penulis adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat.