Lonjakan Kasus Campak di Sumenep Jadi KLB, DPRD dan Warga Kritik Kinerja Pemkab

Ilustrasi

SUMENEP – Kasus campak di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, terus meningkat tajam hingga ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Data Dinas Kesehatan P2KB mencatat, hingga Agustus 2025, terdapat 1.944 kasus dengan 12 anak meninggal dunia, kondisi yang kian membuat masyarakat resah.

Pemerintah Kabupaten Sumenep merespons dengan menyiapkan vaksinasi akbar pada 25 Agustus 2025 sebagai langkah darurat. Namun, lonjakan kasus tetap menimbulkan pertanyaan serius terkait lemahnya pencegahan.

Sebaran tertinggi ditemukan di wilayah perkotaan dan dekat fasilitas kesehatan, seperti Kalianget (220 kasus), Rubaru (146), Pamolokan/Kota (122), Dasuk (115), dan Saronggi (107 kasus). Ironisnya, daerah kepulauan yang aksesnya sulit justru mencatat kasus lebih rendah.

Kondisi ini memicu kritik tajam dari DPRD Sumenep. Anggota Komisi IV DPRD, Samioeddin, menilai tingginya kasus di daerah perkotaan membuktikan lemahnya kerja lapangan pemerintah daerah dan dinas kesehatan.

“Kasus di daerah pinggiran kota seperti Pamolokan dan Kalianget saja masih tinggi, ini jelas bukti pencegahan lemah. Pemerintah jangan menunggu banyak korban baru bergerak. Penanganan ini terlihat reaktif dan terlambat,” tegas Samioeddin, Kamis (21/8/2025) sebagaimana dikutip madurapers.com.

Bacaan Lainnya

Ia menambahkan bahwa vaksinasi massal tidak boleh menjadi satu-satunya solusi.

“Campak ini penyakit yang bisa dicegah lewat imunisasi. Kalau masih ada ratusan kasus, berarti edukasi gagal dan layanan kesehatan tidak maksimal. Pemerintah harus berani mengevaluasi kinerja dinas, bukan sekadar menyalahkan masyarakat,” ujarnya.

Dinas Kesehatan Sumenep sebelumnya mengakui mayoritas anak yang meninggal tidak pernah mendapat imunisasi campak, bahkan sebagian termasuk kategori zero dose, yaitu tidak pernah memperoleh imunisasi dasar sejak lahir.

“Mayoritas anak yang meninggal memang tidak pernah diimunisasi, ada yang sejak lahir hingga usia sembilan bulan tidak tersentuh imunisasi sama sekali. Akibatnya komplikasi jadi parah,” jelas Kepala Bidang P2 Dinas Kesehatan P2KB Sumenep, Achmad Syamsuri.

Menurutnya, imunisasi campak seharusnya diberikan saat bayi berusia sembilan bulan.

“Namun rendahnya kesadaran masyarakat ditambah lemahnya cakupan imunisasi membuat campak kembali merebak,” tandasnya.

Di sisi lain, masyarakat juga menyuarakan kekecewaan. Warga menilai Pemkab Sumenep gagal melakukan pencegahan dini dan hanya bergerak ketika kasus sudah melonjak.

“Kalau pemerintah serius dari awal, tidak mungkin kasus sebanyak ini terjadi. Anak-anak kami jadi korban karena kelalaian. Pemerintah harus bertanggung jawab,” ungkap salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.

Dengan situasi yang terus memburuk, desakan terhadap Pemkab Sumenep untuk memperkuat edukasi kesehatan, meningkatkan cakupan imunisasi, serta turun langsung ke lapangan semakin menguat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *