MK Tolak Uji Materi Larangan Rangkap Jabatan Wamen, Pemohon Telah Meninggal Dunia

Hakim MK

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi mengenai larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri (wamen) setelah pemohonnya, Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies, Juhaidy Rizaldy Roringkon, meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan.

Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan amar putusan di Jakarta, Kamis (15/7/2025), menyampaikan:

“Menyatakan permohonan pemohon Nomor 21/PUU-XXIII/2025 tidak dapat dapat diterima.”

Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa Mahkamah menerima bukti resmi berupa surat keterangan dari Rumah Sakit dr. Suyoto yang menyatakan bahwa Juhaidy meninggal dunia pada 22 Juni 2025 pukul 12.55 WIB. Oleh karena itu, Mahkamah menilai permohonan tidak dapat dilanjutkan karena pemohon tidak lagi memiliki kedudukan hukum.

“Dengan demikian, dikarenakan pemohon telah meninggal dunia maka seluruh syarat anggapan kerugian yang didalilkan pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi oleh pemohon,” ujar Saldi.

Bacaan Lainnya

Permohonan ini sebelumnya diajukan untuk menguji Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menurut Juhaidy tidak mencakup larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri. Ia berpendapat, ketidakhadiran frasa “wakil menteri” dalam aturan tersebut menimbulkan ketimpangan perlakuan hukum.

“Dengan tidak [ada] larangan dalam UU Kementerian Negara, pemohon yang juga nantinya berkesempatan menjadi komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN akan tertutup karena akan bersaing dengan para wakil menteri yang telah dekat dengan kekuasaan dan tidak dapat lagi menjadi kandidat komisaris yang seperti harapan pemohon di masa depan nanti,” tulis Juhaidy dalam permohonannya.

Dalam permohonannya, Juhaidy juga mengutip Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang secara substantif menyatakan bahwa wakil menteri harus dianggap setara dengan menteri, termasuk dalam hal larangan rangkap jabatan. Ia bahkan meminta agar frasa “wakil menteri” dimasukkan ke dalam pasal 23, sehingga bunyinya menjadi:

“Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”

Sayangnya, karena meninggalnya pemohon, Mahkamah menyatakan permohonan tidak memenuhi syarat formil, sehingga tidak diproses lebih lanjut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *