Nasib Jutaan Petani Indonesia dan Mimpi Kedaulatan Pangan

Petani Padi

Pernyataan terbaru Donald Trump yang mengklaim adanya kesepakatan dagang dengan Presiden Prabowo mengenai pengurangan defisit Amerika Serikat dan pemberian perlakuan khusus terhadap produk pertanian AS di pasar Indonesia, patut menjadi perhatian serius kita semua. Di balik narasi diplomatik dan ekonomi yang dibungkus rapi, terdapat ancaman nyata terhadap kedaulatan pangan nasional dan keberlangsungan hidup jutaan petani Indonesia.

Jika benar kesepakatan ini mengarah pada peningkatan volume impor produk pertanian dari Amerika Serikat—seperti kedelai, jagung, dan gandum—maka yang sedang kita saksikan bukanlah sekadar transaksi dagang, melainkan langkah mundur dari cita-cita besar kita: membangun kedaulatan pangan. Dalam konteks ini, pemerintah semestinya tidak hanya memikirkan sisi pragmatis jangka pendek dalam menyeimbangkan neraca perdagangan, tetapi harus menempatkan nasib petani lokal sebagai prioritas kebijakan.

Semakin masifnya bahan pangan impor sama artinya dengan semakin lemahnya posisi petani lokal di hadapan hegemoni impor dan para pebisnis besar. Ini bukan soal harga semata, tapi soal ketimpangan relasi kekuasaan dalam sistem pangan kita. Ketika kedelai dan jagung impor membanjiri pasar dengan harga yang tak bisa disaingi oleh petani lokal, maka satu per satu mata pencaharian petani kita tergerus. Ini bukan spekulasi, tapi realitas pahit yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Jika tren ini dibiarkan, maka kita sedang menyaksikan perlahan-lahan ambruknya fondasi ketahanan pangan nasional yang dibangun dari keringat petani kecil.

Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah fakta bahwa sebagian besar produk pertanian Amerika Serikat adalah hasil rekayasa genetika atau genetically modified organism (GMO). Berbagai studi ilmiah telah mengaitkan konsumsi produk GMO dengan potensi risiko kesehatan serius, termasuk kanker. Masyarakat bukan hanya terpapar pangan impor murah, tapi juga harus menanggung beban kesehatan jangka panjang yang berisiko tinggi. Beban ini tentu akan jatuh ke pundak negara melalui skema jaminan sosial seperti BPJS Kesehatan. Artinya, selain menghancurkan produktivitas pertanian lokal, ketergantungan impor ini juga akan menyedot APBN melalui pembiayaan sektor kesehatan.

Bacaan Lainnya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *