Gagasan pemerintah untuk menjadikan amplop kondangan sebagai objek pajak bukan hanya menunjukkan kegagalan memahami esensi tradisi masyarakat, tetapi juga menyingkap krisis empati dalam merancang kebijakan fiskal yang adil dan kontekstual. Ini bukan sekadar isu perpajakan, melainkan soal bagaimana negara memaknai relasi sosial rakyatnya—terutama dalam budaya yang masih menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan gotong royong. Di banyak daerah, termasuk Madura, kebijakan ini terasa seperti tamparan terhadap nilai-nilai kultural yang telah hidup ratusan tahun dan menjadi penyangga sosial di tengah ketimpangan ekonomi yang belum terselesaikan.
Bagi masyarakat Madura, amplop kondangan bukanlah transaksi ekonomi yang bersifat untung-rugi, melainkan wujud solidaritas dan relasi timbal balik yang mendalam. Dalam acara manten, tok otok, atau hajat-hajat besar lainnya, pemberian amplop bukanlah “pemasukan”, tetapi bagian dari sistem sosial yang saling menopang. Jumlahnya bisa besar—bahkan mencapai puluhan juta rupiah—namun itu bukan bentuk profit, melainkan hasil dari proses gotong royong jangka panjang: hari ini memberi, besok menerima. Siklus ini menjadi jaringan pengaman sosial yang nyata, terutama ketika kehadiran negara dalam menyediakan jaminan kesejahteraan masih sangat terbatas.
Acara pernikahan di Madura bukan sekadar seremonial. Ia melibatkan prosesi yang panjang, penuh makna simbolik, dan melibatkan banyak pihak. Ada selamatan, penyembelihan sapi, hingga jamuan makan yang disiapkan untuk keluarga besar, tetangga, dan bahkan seluruh warga desa. Semua itu dijalankan dengan semangat kolektif, bukan semata dari kantong pribadi. Amplop dari tamu bukanlah bentuk pembayaran jasa, tetapi kontribusi sukarela atas dasar kebersamaan. Maka ketika negara mulai menghitung amplop ini sebagai “penghasilan kena pajak”, ia gagal membedakan antara nilai uang dan nilai sosial. Yang dilihat hanya nominal, tapi yang diabaikan adalah makna dan relasi.
Dari sisi hukum perpajakan, kebijakan ini juga tidak berdiri atas dasar yang kokoh. Pasal 23A UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa pajak harus dipungut secara adil dan berdasarkan undang-undang. Adil dalam konteks ini berarti tidak sekadar merata, tapi juga proporsional, relevan, dan berpihak pada mereka yang paling rentan. Amplop kondangan tidak memenuhi unsur objek pajak: tidak ada niat mencari laba, tidak ada aktivitas bisnis, dan tidak ada transaksi komersial. Ini adalah ekspresi budaya, bukan aktivitas ekonomi. Memasukkannya sebagai objek pajak justru mencederai prinsip keadilan, kepastian hukum, dan logika sehat dalam pemungutan pajak.
Jika kebijakan ini diterapkan, pertanyaannya menjadi sangat praktis sekaligus absurd: apakah setiap keluarga yang menikahkan anaknya harus melaporkan pendapatan dari kondangan ke kantor pajak? Apakah tamu-tamu yang memberi amplop harus dicatat satu per satu? Apakah negara akan memaksa rakyat membuat daftar kontribusi dan melampirkannya dalam SPT tahunan? Di titik ini, kebijakan fiskal justru terjebak dalam birokrasi yang melampaui akal sehat dan membuka ruang interpretasi sepihak dari aparat pajak. Dan seperti yang kita tahu, di ruang abu-abu hukum, kekuasaan cenderung menjelma menjadi tekanan.