Partai Politik Kita: Reformasi Jalan, Mereka Tetap di Tempat

Muhammad Sakur

Reformasi 1998 menjanjikan perubahan besar dalam kehidupan politik Indonesia. Ia bukan hanya menggulingkan kekuasaan Orde Baru, tetapi juga membuka ruang baru bagi demokrasi untuk tumbuh dan berakar. Dua puluh tujuh tahun kemudian, kita menyaksikan banyak indikator demokrasi yang tampak berjalan: pemilu yang semakin rutin, anggaran Komisi Pemilihan Umum yang terus meningkat, desentralisasi pemerintahan yang diatur rapi dalam regulasi, hingga hadirnya lembaga-lembaga baru yang dulu tak pernah terbayangkan. Namun jika kita jujur melihat ke dalam, satu hal tetap terasa stagnan, bahkan nyaris tak tersentuh oleh semangat perubahan: partai politik.

Partai-partai yang hari ini mendominasi panggung kekuasaan pada dasarnya tidak jauh berbeda dari dua dekade lalu. Wajah mereka mungkin lebih muda, logonya lebih segar, medianya lebih canggih, dan jargonnya lebih modern. Namun karakter dasarnya tetap serupa: elitis, transaksional, dan anti-perubahan. Partai tidak berkembang sebagai institusi publik yang mendorong demokratisasi, tetapi lebih menyerupai perusahaan keluarga yang dikemas dalam simbol-simbol nasional dan didirikan dengan kantor pusat di Jakarta. Bukan rahasia lagi bahwa banyak partai politik besar di Indonesia dijalankan layaknya dinasti—di mana kepemimpinan berpindah tangan bukan karena kapasitas atau rekam jejak, tetapi semata karena hubungan darah. Nama-nama seperti Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri dan Puan Maharani, Hary Tanoesoedibjo dan Angela Tanoesoedibjo, hingga Prabowo Subianto dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjadi contoh gamblang dari apa yang disebut regenerasi tapi sejatinya hanyalah pewarisan kekuasaan.

Yang ironis, praktik ini seringkali dibungkus dalam narasi retoris: “bukan dinasti politik, tapi regenerasi kepemimpinan.” Padahal publik tidak butuh klarifikasi, karena realitasnya sudah sangat telanjang. Demokrasi yang sejatinya bertumpu pada prinsip keterbukaan dan kompetisi yang adil justru dikunci oleh praktik oligarki internal. Dan masyarakat, terutama generasi muda, sebenarnya tidak bodoh—mereka hanya terlalu sering dibuat kecewa oleh pertunjukan politik yang berulang dengan aktor yang itu-itu saja.

Dalam tubuh partai, uang telah menjadi alat seleksi utama. Keanggotaan mungkin terbuka bagi siapa pun, tetapi jalur pencalonan hanya tersedia bagi mereka yang punya modal besar, koneksi kuat, atau restu dari elite pusat. Biaya politik yang tinggi bukan hanya karena masyarakat menuntut “amplop”, tetapi karena partai politik sendiri menjadikan pencalonan sebagai ajang penggalangan dana internal. Mahar politik menjadi rahasia umum, dan idealisme menjadi barang langka. Kader-kader potensial yang tumbuh dari bawah sering kali tersingkir oleh mereka yang mampu membeli tiket kekuasaan. Maka tidak heran jika reformasi internal partai selalu kandas, karena mereka yang berada dalam posisi mengubah justru adalah pihak yang paling diuntungkan oleh ketidakberubahan itu.

Desentralisasi yang sudah berjalan lebih dari dua dekade pun tidak banyak berdampak pada struktur partai. Di atas kertas, kita menganut sistem otonomi daerah. Namun dalam kenyataan politik, kekuasaan partai masih sangat terpusat. Keputusan penting tentang pencalonan kepala daerah, koalisi, hingga sanksi kader semuanya dikendalikan dari pusat. Struktur di daerah seperti Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) lebih sering menjadi pelengkap administratif ketimbang pengambil keputusan yang sejati. Aspirasi akar rumput nyaris tak punya ruang jika tidak sejalan dengan kehendak pusat. Ini menjelaskan mengapa banyak partai kehilangan akar sosial di masyarakat: karena mereka sendiri yang memutuskan tali itu.

Bacaan Lainnya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *