Partai Politik Kita: Reformasi Jalan, Mereka Tetap di Tempat

Muhammad Sakur

Kini banyak partai mencoba berbenah secara kosmetik. Mereka mengusung slogan-slogan segar: politik gagasan, politik gembira, politik hijau, politik digital. Tapi substansi di balik kemasan itu nyaris tidak berubah. Demokrasi internal partai tetap tertutup. Transparansi anggaran masih menjadi tabu. Kaderisasi dibangun di atas kedekatan, bukan prestasi. Anak muda diajak bergabung, tapi hanya sebagai pelengkap narasi media, bukan untuk diberi ruang pengambilan keputusan nyata. Mereka diminta berpartisipasi, tapi tak diberi akses yang adil dalam pencalonan.

Jika kita percaya bahwa demokrasi sejati hanya bisa tumbuh dari institusi politik yang sehat, maka partai politik harusnya menjadi lokomotif perubahan. Tapi kenyataannya, mereka justru menjadi rem yang menghambat laju demokrasi. Ketika partai tidak transparan, tidak inklusif, dan tidak demokratis, maka pemilu hanyalah formalitas lima tahunan tanpa makna substantif. Dan ketika partai gagal berubah, maka sistem politik pun akan terus direproduksi oleh elite yang sama—dengan wajah berbeda, tapi watak yang identik.

Rakyat tidak apatis karena tidak peduli. Mereka lelah karena terlalu sering dikhianati oleh institusi yang seharusnya mewakili mereka. Anak muda tidak cuek, mereka hanya belum melihat ruang politik yang benar-benar bisa dipercaya. Dan dalam situasi ini, pertanyaan besar perlu diajukan secara jujur: masih relevankah partai politik yang ada saat ini dengan demokrasi yang kita cita-citakan sejak reformasi 1998? Jika jawabannya tidak, maka tugas rakyat bukan sekadar memilih calon pada pemilu berikutnya—melainkan mendorong reformasi total terhadap sistem yang membiarkan partai-partai ini terus bertahan tanpa pernah berubah.

*Muhammad Sakur, penulis adalah Mahasiswa Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM

Bacaan Lainnya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *