Peran Ideal KPK dalam Bayang-Bayang Kasus Ira Puspadewi

Ayatullah Fazlur Rahman, penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia.

Poin berikutnya adalah independensi. Kritik keras muncul bahwa KPK setelah revisi UU cenderung kehilangan taji dan rentan dipersepsikan sebagai alat kekuasaan. Persepsi ini muncul terutama ketika kasus besar yang menyangkut kepentingan ekonomi atau politik tampak ditangani secara selektif. Dalam konteks kasus Ira, sebagian kalangan mencurigai bahwa proses hukum mungkin dipengaruhi pertarungan kepentingan bisnis atau konflik internal BUMN. KPK seharusnya berdiri di luar seluruh arus itu. Ia harus memastikan bahwa penindakan tidak dijadikan tameng untuk perebutan kuasa atau agenda tertentu yang membonceng isu korupsi.

Melihat semua itu, kita perlu menghadirkan visi baru tentang bagaimana KPK seharusnya bekerja dalam kasus seperti Ira Puspadewi. Pertama, KPK harus memperkuat standar pembuktian ekonomi dalam kasus korupsi korporasi. Tidak cukup hanya mengandalkan laporan audit tertentu; harus ada audit forensik, valuasi independen, dan uji kelayakan yang transparan. Kedua, KPK harus menghadirkan mekanisme penjelasan publik (public reasoning) setiap kali menangani kasus besar, terutama yang melibatkan BUMN. Tanpa itu, proses hukum mudah dipersepsikan sebagai kriminalisasi kebijakan. Ketiga, KPK harus memperkuat kembali fungsi pencegahan. Pencegahan yang efektif akan mengurangi kebutuhan penindakan yang merusak reputasi dan psikologi organisasi.

Namun menuntut KPK berubah tidak cukup tanpa partisipasi masyarakat. Publik harus aktif mengawasi, bukan sekadar memihak salah satu narasi. Demokrasi hukum menuntut masyarakat memahami bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh bergeser menjadi perburuan penyihir. Ketika kebijakan publik dianggap korupsi tanpa kajian mendalam, maka negara sedang berjalan menuju ketakutan yang melumpuhkan. Para pemimpin BUMN akan enggan mengambil keputusan strategis, takut diseret ke pengadilan di kemudian hari. Dampaknya bukan hanya pada individu, tapi pada daya saing ekonomi nasional.

Pada akhirnya, kasus Ira Puspadewi bukan hanya soal benar atau salah seseorang. Ini adalah cermin besar untuk menilai apakah KPK masih menjadi lembaga yang menjaga marwah keadilan dan profesionalisme hukum. Sebab dalam negara demokrasi, hukum tidak boleh menjadi arena ketidakpastian, dan KPK tidak boleh menjadi institusi yang bergerak berdasarkan kekuatan narasi atau tekanan politik. Idealnya, KPK harus menjadi sumbu penuntun: jernih, imparsial, berbasis bukti, dan menyadari kompleksitas realitas ekonomi.

Jika KPK gagal memainkan peran tersebut, maka ia bukan lagi lembaga anti-korupsi yang didambakan reformasi, melainkan hanya bagian dari problem baru dalam sistem hukum kita. Dan di titik ini, kritik terhadap penanganan kasus seperti Ira Puspadewi bukanlah bentuk pembelaan terhadap individu melainkan seruan untuk mengembalikan KPK ke jalan yang semestinya: jalan keadilan, rasionalitas, dan keberanian moral untuk tidak terjebak pada kriminalisasi kebijakan publik.

Bacaan Lainnya

*Ayatullah Fazlur Rahman, penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *