Pertemuan, Pengetahuan, dan Pancasila: Jalan Menuju Perdamaian

Pertemuan selalu menjadi kabar baik. Begitulah orang-orang zaman dahulu menggambarkan makna pertemuan—sebuah momen yang membuka kemungkinan tak terhitung dalam kehidupan. Pertemuan adalah awal dari kisah baru; titik mula dari beragam peristiwa yang akan kita alami. Dari sebuah pertemuan, lahirlah tawa, haru, bahagia, bahkan duka. Pertemuan adalah ruang di mana manusia belajar memahami diri sendiri sekaligus memahami orang lain.

Namun, pertemuan tidak selalu berlangsung mulus. Manusia yang pada dasarnya berpikir dan beremosi sering kali terjebak dalam asumsi. Asumsi itu bekerja cepat—otak kita menyimpulkan sesuatu hanya dari potongan informasi yang tidak lengkap. Inilah yang memunculkan prasangka: menilai buruk orang lain atau peristiwa tanpa benar-benar mengenalnya. Ketika prasangka menjadi dasar interaksi, konflik pun mudah meletus. Banyak pertikaian sebenarnya bukan lahir dari perbedaan itu sendiri, melainkan dari ketidakpahaman kita terhadap sesuatu yang baru atau berbeda.

Di sinilah pengetahuan menjadi kunci. Pengetahuan memperluas perspektif, membimbing asumsi ke arah yang lebih bijak, dan melatih kita untuk menahan diri sebelum menghakimi. Dengan pengetahuan, kita belajar bahwa perbedaan pandangan tidak selalu berarti permusuhan; bahwa sesuatu yang asing bagi kita mungkin lahir dari pengalaman hidup yang berbeda. Dari sini, tumbuhlah sikap toleran—kemampuan menerima perbedaan dengan lapang dada. Inilah kebijaksanaan yang membuat pertemuan tidak lagi menjadi sumber konflik, melainkan jalan menuju pengertian.

Multikulturalisme sebagai Ruang Belajar Bersama

Dalam konteks kebangsaan, multikulturalisme hadir sebagai medium perdamaian. Ia mengakui, menghargai, dan merayakan keberagaman budaya, etnis, bahasa, dan agama yang hidup berdampingan dalam satu masyarakat. Masyarakat multikultural tidak melihat perbedaan sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk belajar. Justru dari interaksi sehari-hari antarindividu yang berbeda latar belakang, tumbuhlah rasa saling menghormati dan kerja sama.

Salah satu contoh menarik dapat dilihat di SMK Bakti Karya Parigi. Sekolah ini memberikan beasiswa penuh bagi siswa dari berbagai latar belakang suku, agama, bahasa, dan budaya. Hingga kini, sekolah tersebut menampung siswa dari 28 provinsi dan lebih dari 40 suku di Indonesia. Mereka tidak hanya dibekali kemampuan akademik, tetapi juga ditempa untuk menjadi manusia yang utuh dengan rasa kemanusiaan tinggi. Di sana, siswa belajar bahwa perbedaan adalah bagian dari kehidupan, bukan hambatan. Selama tiga tahun masa pendidikan, mereka mengasah kepekaan, empati, dan keterampilan hidup bersama dalam keberagaman. Inilah wajah nyata pendidikan multikultural yang melahirkan generasi toleran dan berwawasan luas.

Bacaan Lainnya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *