Simpul-simpul Kekuasaan di Meja Makan

Moh. RIdlwan

Di bawah bendera, kekuasaan memiliki bayangannya sendiri, dan ia meliuk lebih panjang dari tiang bendera manapun. Mahasiswa, dalam ingatan kita, adalah lakon heroik ’98; suara yang pecah melawan bisu. Mereka adalah lautan manusia yang menggenangi jalanan Jakarta, menggugat hegemoni yang terasa abadi, menggulung rezim yang seolah tak terhancurkan.

Tapi sejarah, seperti air yang mengalir, punya cara untuk mengikis batu, untuk mengaburkan makna. Kini, teriakan itu kadang terdengar seperti gema yang tak menemukan dinding untuk dipantulkan, ramai tapi tak lagi menggetarkan. Ia seperti pertunjukan yang skenarionya sudah kita hafal di luar kepala, dengan dialog yang sama, dan akhir yang mudah ditebak.

Bendera-bendera itu—PMII, HMI, GMNI dll.,—masih berkibar. Mereka tetap menjadi penanda identitas, simbol perlawanan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, mereka tak lagi berdiri di luar, di pinggir arena.

Mereka kini menjadi bagian dari anyaman rumit kekuasaan itu sendiri. Hubungan tak lagi formal, tak sekadar afiliasi ideologis; ia telah bermetamorfosis menjadi urat-urat yang mengikat, menjadi jalinan yang sulit diurai.

PMII, misalnya, adalah anak kandung tradisi Nahdlatul Ulama, yang menemukan rumah politiknya dalam PKB. Keterkaitan itu, kini, begitu telanjang, begitu gamblang: ketua umum mereka, punya ikatan darah dengan ketua umum partai. Politik, dan darah, kini satu meja makan.

Bacaan Lainnya

Di sini, pertanyaan mendasar muncul dan menganga seperti luka yang tak pernah kering: bisakah ia, yang lahir dari rahim tradisi dan politik itu, benar-benar berjarak, benar-benar independen untuk mengkritik kekuasaan—sementara kekuasaan itu adalah darahnya sendiri?

Indonesia adalah negeri yang tak pernah mengenal garis lurus dalam politik. Ia lebih suka anyaman, simpul-simpul yang tak terhitung jumlahnya. Hubungan personal, di sini, jauh lebih penting dari ideologi yang tertera di bendera. Dari pesantren yang menjadi pusat jaringan spiritual, dari pertemuan arisan yang membahas proyek-proyek bisnis, hingga meja makan keluarga yang membicarakan strategi politik, semua bisa menjadi medan politik yang tak terlihat.

Batas-batas itu, antara negara yang impersonal dan rumah yang intim, sering kali hanya ilusi. PMII hanyalah salah satu simpulnya. HMI punya KAHMI, korps alumni yang mengalir ke setiap sudut kekuasaan, dari kursi menteri hingga komisi di parlemen termasuk historisme dengan Partai Golkar. GMNI membawa romantisme Soekarno, dan ia bermuara di PDI Perjuangan.

Ketiga organisasi ini, yang seolah-olah otonom, yang konon berdiri di luar sistem, sesungguhnya telah menjadi jasad dari sistem itu sendiri, mengisi setiap relung dengan kadernya yang setia.

Maka, demonstrasi pun berubah makna. Ia bukan lagi serangan frontal, bukan lagi manifestasi kemarahan publik yang tak terkendali, tapi sebuah ritual. Teriakan yang lantang di siang hari, yang disaksikan media dan publik, bisa berubah menjadi bisik-bisik negosiasi di ruang berpendingin udara pada malam harinya.

Kritik menjadi kompromi, dan kompromi pada akhirnya adalah soal tawar-menawar kekuasaan, soal siapa mendapat apa. Ada hal lain yang lebih sunyi tapi lebih menentukan: kebutuhan. Organisasi mahasiswa bukan mesin idealisme yang berjalan dengan udara murni.

Mereka butuh dana untuk operasional, butuh logistik untuk aksi, dan butuh jaringan untuk keberlanjutan. Biaya untuk pelatihan kader, ongkos untuk aksi demonstrasi, bahkan sekadar listrik di sekretariat, semua butuh sumber daya. Dan sumber daya itu, hampir selalu, datang dari alumni yang telah mapan, yang kini duduk di kursi-kursi kekuasaan di partai politik, di birokrasi, atau di korporasi.

Saat Ketua PMII adalah famili dari Ketua PKB, jejaring itu menjadi begitu rapat. Ia bukan lagi sekadar afiliasi, tapi ikatan yang sulit diputus. PKB tak lagi sekadar partai, ia telah menjadi rumah besar, sebuah orbit di mana para alumni PMII berputar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *