Di dalam orbit itu, kritik yang terlalu keras, atau terlalu jujur, bukan lagi soal sikap politik, tapi pengkhianatan personal. Di sinilah pragmatisme menemukan ladang yang subur untuk tumbuh dan berkembang. Kritik tetap disuarakan, tetapi dengan batas-batas yang tak kasat mata, yang hanya diketahui oleh mereka yang berada di dalam lingkaran. Aksi tetap digelar, tapi lebih sebagai penanda eksistensi ketimbang perlawanan sejati. Yang utama, jaringan itu tetap utuh, hubungan tetap hangat, dan pintu kekuasaan tetap terbuka.
Pola ini, sebenarnya, tak asing dalam sejarah kita. Di masa Orde Baru, HMI pernah dituduh memiliki “dua wajah.” Satu wajah yang keras di jalanan, yang menuntut reformasi dan perubahan. Satu wajah lagi yang halus di ruang kekuasaan, yang menikmati posisi dan fasilitas yang diberikan oleh rezim. Sebagian memilih bertahan di luar, menjaga kemurnian idealisme. Sebagian lain memilih masuk, beralasan: perubahan dari dalam lebih efektif.
Tapi sejarah, dengan ironi yang pedih, seringkali menunjukkan bahwa “perubahan dari dalam” tak lebih dari alasan untuk bertahan dan menikmati fasilitas kekuasaan itu. Pola itu kini berulang, hanya aktornya yang berganti, dan skenarionya diperbarui. PMII, HMI, dll.,—semua berdiri di persimpangan yang sama, antara idealisme masa lalu yang membakar dan godaan pragmatisme masa kini yang menggiurkan.
Godaan ini, ia datang dalam bentuk yang begitu manusiawi: rasa aman, kenyamanan, dan kesempatan yang ditawarkan oleh kekuasaan yang akrab.
Maka, tak usah heran jika demonstrasi kini terasa hambar, seperti kopi tanpa gula. Poster-poster yang diangkat bukan lagi senjata, melainkan hanya ornamen yang melengkapi pemandangan. Orasi yang lantang hanya gema dari masa lalu, mengulang-ulang kalimat yang sama tanpa resonansi yang baru.
Publik melihat marah yang ditampilkan di depan kamera, tapi mereka tak melihat percakapan yang terjadi di belakang layar—pertemuan yang menentukan batas kritik, siapa yang boleh diserang, dan siapa yang harus dilindungi. Di sinilah hubungan darah menjadi faktor yang paling sulit diputus.
Politik di Indonesia tak pernah steril, ia selalu intim, selalu personal. Mengkritik kekuasaan bukan hanya soal argumen; ia juga soal keberanian menghadapi ayah, kakak, guru, atau saudara kita sendiri yang kini menguasai. Bagaimana mungkin seseorang bisa menggugat dengan sepenuh hati jika kekuasaan itu hadir di meja makan keluarganya?
Rakyat yang kecewa, yang masih mengenang semangat ’98, masih berharap pada mahasiswa. Tapi harapan itu sering berbenturan dengan kenyataan. Mahasiswa juga manusia, hidup dalam jaring yang rumit, terikat oleh tali-tali yang tak terlihat. Mereka bukan tabula rasa, bukan kertas kosong. Mereka lahir dari keluarga yang membawa sejarah politik tertentu, dari pesantren yang berafiliasi partai, dari kampus yang dikelilingi sponsor korporasi.
Keterkaitan antara ketua PMII dan ketua PKB bukan sekadar fakta personal yang kebetulan. Itu adalah simbol dari bagaimana politik dan keluarga saling membelit, menciptakan struktur kekuasaan yang sangat solid, yang sulit digugat dari luar.
Dalam struktur seperti itu, idealisme sering hanya menjadi bahasa publik, bahasa yang diucapkan di depan mikrofon, sementara pragmatisme adalah bahasa internal, bahasa yang digunakan di ruang tertutup.
Di balik bendera yang berkibar di jalan, bayangan kekuasaan selalu mengikuti. Bayangan itu lebih panjang, lebih gelap, dan lebih nyata daripada warna bendera itu sendiri. Ia adalah bayangan dari kompromi, dari negosiasi, dan dari kenyamanan. Ia adalah bayangan dari jaringan yang telah meresap ke dalam tubuh pergerakan.
Kita bisa terus berharap bahwa suatu hari, mahasiswa akan kembali menjadi penggugat sejati. Tapi selama jaringan ini—keluarga, partai, alumni, dan pragmatisme—tetap utuh, mungkin yang kita lihat hanyalah pertunjukan yang sama, dengan akhir cerita yang selalu bisa ditebak. Aktornya saja yang berganti, tapi ceritanya tetap sama.
*Moh. Ridlwan, adalah Pengamat sosial dan Alumni PMII Cabang Bangkalan