Di tengah derasnya arus modernisasi pendidikan yang semakin menekankan nilai-nilai pragmatis — di mana keberhasilan diukur dari seberapa cepat seseorang mendapatkan pekerjaan atau gelar profesional — muncul satu lembaga pendidikan Islam di ujung barat Pulau Madura yang memilih jalur berbeda: Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA) Bangkalan.
Kampus ini berawal dari lembaga kecil bernama Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darussalam (STIUDA) yang berdiri pada 10 Juli 2016. Dengan hanya dua program studi — Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir serta Ilmu Hadis — kampus ini berdiri di tengah tren pendidikan tinggi yang cenderung menjauhi ilmu-ilmu dasar keislaman. Ketika banyak lembaga memilih bidang-bidang “pasar kerja”, STIUDA justru memperjuangkan idealisme lama: bahwa ilmu bukan semata alat mencari nafkah, melainkan cahaya untuk menuntun kehidupan.
Menjaga Nyala Ilmu di Tengah Arus Zaman
Perjalanan awal STIUDA tidak mudah. Proses perizinan yang berliku, keterbatasan fasilitas, serta pandangan skeptis dari sebagian pihak menjadi ujian yang harus dilalui. Namun di balik semua tantangan itu, tersimpan semangat pantang menyerah. Para pendirinya bukan hanya memandang kampus ini sebagai institusi pendidikan, tetapi sebagai amanah peradaban: upaya meneruskan tradisi keilmuan Islam di Madura yang telah tumbuh subur sejak masa pesantren klasik.
Dalam konteks ini, STIUDA tampil bukan sebagai pesaing universitas modern, tetapi sebagai pelengkap — bahkan sebagai penyeimbang — bagi sistem pendidikan yang kerap kehilangan arah spiritualnya. Ia hadir untuk mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah tarbiyah, proses menumbuhkan manusia seutuhnya: akal, jiwa, dan akhlak.
Falsafah ini berakar pada pandangan klasik Islam bahwa ilmu tidak boleh tercerabut dari nilai adab. Sebagaimana dikatakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Krisis umat Islam bukanlah krisis ilmu, tetapi krisis adab.” STAIDA mencoba menjawab krisis itu dengan menghidupkan kembali adab belajar, yakni penghormatan terhadap guru, sumber wahyu, dan kearifan lokal.
