JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menetapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang mulai berlaku pada 1 Agustus 2025. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap nasib sektor industri dalam negeri yang berorientasi ekspor.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKB, Kaisar Abu Hanifah, menegaskan bahwa langkah cepat dari pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi industri nasional dari dampak serius kebijakan tersebut.
“Keputusan Presiden AS untuk mengenakan tarif sebesar 32 persen ke Indonesia harus menjadi momen penting bagi pemerintah untuk memberi perhatian lebih serius kepada industri nasional. Perlindungan konkret terhadap industri dalam negeri mutlak diperlukan agar tidak terlalu terdampak oleh kebijakan ini,” ujarnya kepada media pada Rabu (10/7/2025).
Politisi PKB itu menyoroti bahwa sektor-sektor seperti tekstil, alas kaki, dan minyak sawit merupakan industri yang paling rentan terdampak kebijakan tarif ini. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke AS pada tahun 2024 mencapai 28,18 miliar dolar AS, atau 9,65 persen dari total ekspor nasional. Ia pun memperingatkan potensi efek domino jika pemerintah tidak segera mengambil langkah konkret.
“Jika pemerintah tidak segera melakukan langkah perlindungan yang konkret, sektor tekstil bisa mengalami penurunan drastis. Kita harus mencegah risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan lonjakan pengangguran,” tegasnya.
Meski pemerintah disebut telah menyiapkan sejumlah strategi, seperti penguatan regulasi teknis dan peningkatan kepatuhan terhadap standar internasional, Kaisar menilai hal itu belum cukup. Ia mendorong agar perlindungan juga menyentuh pemberdayaan pelaku industri.
“Perlindungan tidak cukup hanya dari sisi kebijakan, tapi juga harus menyentuh aspek pemberdayaan pelaku industri agar mereka mampu bertahan dan bersaing di pasar global,” ujarnya lagi.
Sebagai solusi jangka panjang, Kaisar menyerukan upaya pengurangan ketergantungan pada Amerika Serikat dan pembukaan pasar ekspor ke negara-negara alternatif.
“Diversifikasi pasar penting agar kita tidak terjebak pada satu ketergantungan. Peningkatan penyerapan produk dalam negeri juga harus menjadi prioritas,” pungkasnya.